Menyenangkan sekali kemarin mendapatkan kesempatan sharing time bareng ICC dengan narasumber mba Muyassaroh Hafidzoh. Beliau penulis buku Hilda dan Cinta Dalam Mimpi. Mba Muyas menyebutkan bahwa penting seklai menyadarkan bahwa perempuan manusia seutuhnya. Penyintas kekerasan seksual pada perempuan harus dihilangkan.
Dari pertanyaan tersebut apakah kita mampu menjawabnya?
Baca Juga : 6 Tips Cara Merawat dan Membersihkan Aquascape
Table of Contents
Marginalisasi
Proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya karena perbedaan jenis kelamin masih terjadi. Kurangnya pemahaman seksualitas khususnya pada sistem reproduksi kerap menjadi sasaran utamanya. Misalkan ketika seorang buruh pabrik perempuan hamil atau melahirkan, jika ia izin tidak masuk bekerja bisa diancam potong gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja.
Atau masih ada anggapan suatu profesi yang dilakoni perempuan adalah lebih cocok yang berjabatan rendah dan tidak terlalu tinggi. Alasan pandangan tersebut adalah laki-laki akan menjadi tersingkirkan dan merasa direndahkan pula. Padahal akar permasalahan yang memang salah adalah penyebab kuatnya budaya patriarki.
Subordinasi
Seseorang berhak meraih kesempatan yang sama dalam politik, ekonomi, sosial, pendidikan, jabatan dan karier. Memprioritaskan penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki daripada perempuan yang juga memiliki kapabilitas yang sama adalah salah satu contoh ketidakadilan. Tidak hanya menomorduakan, pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk sebuah jabatan tertentu harus diubah.
Kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab.
Kekerasan
Seseorang yang diperlakukan kasar bukan dianggap sebagai subjek, tetapi objek yang wajar dijadikan pelampiasan. Telah banyak kasus yang tercatat bahwa perempuan sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tindakan tersebut terjadi karena masih ada anggapan kuasa dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.
Sudah demikian, korban kekerasan jika melawan malah dianggap berdusta, mencemarkan nama baik, dan hanya sekedar mencari sensasi. Apabila tidak menaati perintah laki-laki atau suami malah dikatakan durhaka, dan melanggar perintah agama. Tentu ironi yang masih banyak ditemui di lingkungan sekitar kita.
Stereotype atau melalui pelabelan negatif
Banyak stigma atau label yang melekat pada diri kita karena konstruksi sosial di masyarakat. Misalkan saja, perempuan harus bekerja pada ranah domestik, sedangkan laki-laki pada sektor publik. Anak laki-laki yang mudah menangis dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau cengeng, bukannya dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar.
Beban ganda –yang dipaksakan-
Biasanya sering terjadi dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarier di luar harus mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun. Pembagian kerja tanpa kesepakatan seperti ini masih sering dialamatkan kepada perempuan sebagai korbannya. Bukannya malah saling membantu, ada pula laki-laki atau suami yang tidak membantu urusan rumah tangganya sendiri.
Sedangkan laki-laki tersebut bisa jadi tidak banyak bekerja dan hanya bersantai saja.
Baca Juga : Bolehkah Langsung Menyikat Gigi Setelah Makan Manis?
Lantas Apa yang harus kita lakukan untuk korban kekerasan seksual?
•Melindungi korban supaya tidak mengalami ketidakadilan
•Mendukung sepenuhnya korban untuk terus bangkit kembali
•Melakukan proses hukum dengan meminta bantuan LBH terdekat
•Mengobati korban baik luka fisik maupun psikis
•Dampingi selalu sampai korban bisa kembali pulih
Marilah kita sama-sama saling menguatkan korban, bukan hanya menyudutkannya saja 🙂
Sesi dokumentasi
Malang, 12 Janari 2021