“Jagalah kemuliaan diri sebagai seorang istri dengan memilih jalan profesi yang suami ridhai.”
Awalnya aku belum sepenuhnya menyadari saat mengalami Post Power Syndrome (PPS). Aku adalah seorang yang menyukai pekerjaan di luar rumah. Sebelum menikah pernah bekerja di salah satu pabrik farmasi di Cikarang. Lumayan lama, hampir tiga tahun bekerja sebagai Quality Assurance sampai akhirnya resign dan meneruskan kuliah. Namun, masih tetap berjibaku di ranah publik dan aktif di luar rumah.
Setelah menikah pun masih aktif bekerja di ranah publik sebagai back office sebuah kantor di Malang. Aku bekerja sambil menunggu masa kosong sebelum punya anak, karena sering ditinggal suami on duty di tengah laut lepas.
Pada awal pernikahan kami, dia (masih) menyetujui aku bekerja. Aku ini tipe orang yang tidak bisa berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa. Sedangkan kalau dia lagi on duty, aku bingung juga mau ngapain di rumah seorang diri. Jadi aku pun memutuskan tetap bekerja.
Table of Contents
Kabar Hamil dan Dilema Resign dari Kantor
Setelah 7 bulan pernikahan, akhirnya rahim ini berpenghuni. Masya Allah. Sungguh Allah mendengar doa panjang kami dengan hadirnya buah hati yang insya Allah sebagai penyejuk.
Dan akhirnya saat itu datang juga, sebuah pertanyaan, atau mungkins ebuah permohonan,
“Kenapa sih kamu nggak resign aja?”
Bagai disamber gledek siang bolong tuh rasanya. Beberapa kali kami bertengkar karena masalah ini. Kesannya sepele tapi cukup membuat kami perang dingin beberapa saat. Hubungan rumah tangga jadi kurang harmonis, kami jarang berkomunikasi produktif karena masing-masing terganjal mempertahankan pilihannya.
Aku pun berdiskusi dengan kedua orang tuaku. Ayahku bilang,
“berapa sih gaji kamu sebulan sampai ngorbanin suami kamu sendiri? Paling duit gajian kamu juga habis buat jajan sendiri. Bukan buat membantu perekonomian keluarga.”
Ibuku juga bilang,
“Kamu nurut aja sama suamimu. Baktimu sekarang sama dia. Bukan sama mama. Kamu tanya sama diri kamu sekali lagi, sebenarnya apa tujuan kamu bekerja? Bener cuma menghilangkan sepi saat suamimu ngga ada?”
Semua pernyataan orang tuaku semakin membuat depresi. Aku bingung dan galau dalam menentukan sikap. Sebenarnya apa tujuanku bekerja?
Toh memang benar gajiku tidak seberapa, dan bisa saja habis dalam sekejap mata. Benarkah aku hanya mencari kesibukan dan pelarian?
Butuh Sebuah Pengakuan dan Eksistensi Diri
Sebenarnya aku malu kalau tidak bekerja. Keputusan menjadi ibu rumah tangga adalah perkara serius bagi sebagian perempuan. Mereka harus melalui pertimbangan dan pergolakan panjang hingga akhirnya berani mengambil keputusan tersebut.
Mereka harus melalui pertimbangan dan pergolakan panjang hingga akhirnya berani mengambil keputusan tersebut. Kalau aku bekerja, meskipun dengan penghasilan yang tak seberapa, aku bangga. Karena setidaknya aku bisa membuktikan kalau aku adalah perempuan yang mandiri, tidak bergantung pada suami.
Aku teramat malu pada perempuan lain yang sukses bekerja di ranah publik, tapi juga bisa mempertanggungjawabkan perannya sebagai istri. Kenapa aku nggak bisa?
Saat aku terombang ambing dengan pergolakan panjang, dialah yang menguatkanku dan bilang,
“Bergantunglah padaku. Aku ini suamimu. Aku yang menafkahi kamu. Insya Allah rejekimu datang melalui aku. Ngapain malu minta duit sama suamimu, yang penting ngga minta duit sama suami orang kan. Kamu minta apa sih? Kalau aku bisa ngasih, insya Allah akan aku kasih. Kamu resign ya, kasihan anak-anak kita ntar. Udah bapaknya jarang pulang, masa ibunya juga ngga di rumah seharian”.
Saat itu juga aku tak mampu menahan buliran yang mengambang di netraku. Apa aku siap menjadi ibu yang baik kalau harus mempertahankan egoku sendiri. Demi mendapat cap baik dari sesama manusia, haruskah aku tega menyakiti suamiku, dan calon anak-anakku?
Berdamai dengan Diri Sendiri dan Memulai Lembar Baru
Akhirnya aku pun resign, demi memenuhi baktiku pada imam keluarga ini.
Bukan perkara mudah menyesuaikan diri dari sibuk dengan kehidupan ngantor, kemudian sibuk dengan ranah domestik. Aku sempat minder, tertekan, malu dan malas bersosialisasi. Tidak sedikit yang menanyakan, “sekarang kerja di mana?”
Menjadi istri yang bekerja adalah ibadah dengan rasa syukur didalamnya, karena banyak orang yang masih kesulitan mencari pekerjaan. Tapi aku juga mengejar ibadah dalam bentuk lain, keridhaan suami.
Semua pekerjaan yang aku kerjakan di rumah insya Allah bernilai ibadah kalau diniatkan karena Allah. Semoga semua lelah menjadi Lillah.
Saat aku mengeluh bagaimana capeknya mengurus balita (dengan usia berdekatan) tanpa ART, di luar banyak working mom yang ingin menghabiskan waktu menemani anaknya seharian.
Karena itu aku harusnya belajar banyak bersyukur. Alhamdulillah Allah telah memudahkan untuk bisa tetap tinggal di rumah, mengurus anak-anak tanpa harus repot mencari nafkah tambahan di luar.
Sebagai sesama istri dan ibu, seharusnya kami saling menguatkan, bukan menyudutkan satu sama lain dengan mom war antara working mom vs fulltime mom yang tidak ada habisnya.
Baca Juga:
Peran Perempuan dalam Literasi Digital di Masa Pandemi
Perempuan Boleh Bermimpi Kok! Pesan Moral Ali & Ratu Ratu Queens
Literasi Digital Dapat Mencegah Kekerasan Pada Perempuan
Setiap Istri Pasti Memilih yang Terbaik buat Keluarga
Aku dan setiap istri lainnya mempunyai cara masing-masing dalam mentaati suami. Tiap keluarga pasti punya kebutuhan dan pertimbangan masing-masing mengenai hal ini. Ujian setiap orang berbeda-beda kan?
Kita tidak pernah tahu kondisi apa yang membuat seorang istri bekerja di luar rumah. Tidak semua istri bekerja hanya mengejar popularitas dan prestise sebagai wanita karir.
Semua balik ke diri kita masing-masing, mengapa kita memilih profesi yang kita jalani saat ini. Setidaknya apapun pilihanku, tidak berlawanan arah dengan keinginan suamiku.
Aku masih terus belajar menjadi istri yang baik, jangan sampai melalaikan kewajiban sebagai seorang istri dan ibu. Kelak semua ini akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.
Baca Juga:
Apakah Kamu Suka Mengecek HP Pasangan? Yes or No!
Merawat Keluarga Tanpa Trauma Kekerasan Hubungan Beracun
Penutup
Sekarang aku tidak malu menjadi ibu yang membersamai anak-anak saleh ini. Aku bangga bisa mendampingi mereka dalam tumbuh kembangnya. Untuk menunjukkan keteladanan bagi anak juga tidak perlu dengan menunjukkan karier yang luar biasa.
Karena yang diingat seorang anak kelak adalah bagaimana ibunya bisa menjadi madrasah pertama dan utama bagi mereka. Baiklah, dengan lantang kini aku bisa berteriak, good bye blazer and welcome daster !
14 Komentar. Leave new
Menarik skali kak tulisannya, Bener-bener tidak mudah untuk bisa berada di posisi kakak dan memilih good bye blazer and welcome daster
Nah makanya semua perempuan juga pasti akan dihadapkan dengan pilihan2 seperti ini nantinya hehehe. Semangat.
Makasih sudah mampir 🙂
Inspiratif sekali kak tulisannya. Jujur, walaupun aku belum menikah, tapi aku sudah terpikirkan bagaimana aku kedepannya, entah tetap bekerja ataupun menjadi ibu rumah tangga. Tapi keduanya bukanlah pekerjaan yang mudah menurutku. Selalu ada kebahagiaan didalamnya. Thanks yaa kak sudah sharing!
Semangat mbaa.. Semua peran sama-sama penting. Di mana kita bisa nyaman menjalaninya dan tak menyakiti siapa saja. Ambil langkah yang membuat mba bahagia menjalaninya. Ngobrol dengan suami nanti dan ambil win win solutionnya. Terima kasih ya mba sudah berkenan mampir 🙂
[…] aplikasi audiobook ini membantu ibu rumah tangga banget untuk rehat sejenak dari sibuknya pekerjaan domestik. Bahkan bisa menyambi sambil mendengar […]
[…] Perempuan Sebagai Ibu Rumah Tangga Setelah Resign dari Kantor […]
Bagus tulisannya. Menyentuh menunjukkan ketulusan sang penulis. Terimakasih sudah berbagi. Saya juga resign dari pekerjaan blazer setelah 7 tahun bekerja. Kemudian beraktivitas di lembaga yg kebetulan kami bangun sendiri, waktu kerja lumayan menjadi lebih fleksibel. Setelah 7 tahun yg kedua bekerja, kemudian kami sekeluarga memutuskan pindah ke desa. Dari pegawai menjadi petani dan buka warung kopi hehe … Seru hidup dengan percobaan 14 buka warung.
Mampir ke blog ini dari #1minggu1cerita kompetisi, milih blog the fav. Mungkin boleh juga kunjungan balik hehe. Salam dari Majenang.
Haiiii mbaaa,,
Makasih banget yah udah berkenan mampir. Emang bener lho butuh keberanian untuk bisa memilih resign dari zona nyaman bukan?
Aku sendiri juga memutuskan bisnis online, jualan buku, nulis antologi, dan ngeblog gini. Lebih seru sih yah karena bisa mendampingi tumbuh kembang anak.
Malah cita-cita suami tar masa tuanya pindah ke desa aja. Ngga neko-neko!
Inspiratif sekali tulisannyaaa
Terima kasih sudah berkenan mampir 🙂
Halo kak. Wah aku sdg diambang kegalawan ini. Udah 4tahun saya dan suami LDR, akhir² ini beliau mengutarakan keinginan utk dekat dengn anak istrinya. Dgn artinya saya resign dari mengajar.
Saya agak berair baca tulisan mbak.
Thank you for sharing
Tuh kan sama banget kaya aku. Gimana juga ini butuh waktu dan pergolakan panjang kan ya memutuskan berhenti kerja.
Kamu sampe browsing2 cari pengalaman temen yang sama kek dirimu ya mba. Sini berpelukan :))
Seperti di posisi ku saat ini …
Bimbang untuk menentukan pilihan antara resign atau ttep bekerja …
Karna ini zona nyamanku …
Di saat²seperti inilah aku butuh support agar aku bisa menentukan pilihan ….
Dengan membaca berbagai kisah wanita karier makin mantap keputusan ku untuk lebih memilih menjadi ibu rumah tangga ..
Apalagi sudah mempunyai amanah yang dititipak …
Selama ini akU lupa siapa aku,walau tau aku siapa …
Tapi aku tidak tau apa tugasku ..
Aku seorang istri sekaligus ibu ..
Sudah kewajiban ku untuk mengabdi pada suami .. menjadi ibu yang sesungguhnya untuk anak ku …
Terima kasih bund. …
Menyadarkan bahwa aku adalah istri dan ibu ….
Semangat mbaa.
Tetep kerja juga ngga papa, karna banyak juga ibu bekerja yang bisa tetep berdaya dalam menangani urusan rumah.
Hanya saja, sekali lagi ini urusan prioritas. Mana yang lebih mba butuhkan, mana yang anak-anak butuhkan.
Sebaiknya konsul lagi sama suami, beliau lebih sreg mba di ranah mana?
Dari sanalah akan muncul kekuatan dan jawaban buat menentukan pilihan..
Semangat.. cerita lagi ya ntar gimananya..