“Self healing is a long journey. The harder it is, the stronger your heart will be.”
(Ardhi Mohamad)
Sebenernya ini adalah buku kedua Ardhi Mohamad yang aku baca. Sebelumnya dengan cover putih dengan judul What’s So Wrong About Your Life.
Membaca buku What’s So Wrong About Your Self Healing ini sebetulnya karena challenge Payung Literasi Malang baca buku non fiksi self improvement. Pilihanku jatuh pada buku self healing ini deh.
Apalagi di tempatku lagi santer banget isu bunuh diri, eh banyak banget lho yang tiba-tiba lompat dari jembatan. Ngga tahu kenapa sih gen Z jaman sekarang. Merasa butuh penyembuhan, tapi ngga tahu mulai dari mana atau mau cerita siapa?
Self healing sendiri emang sebuah proses pemulihan dari luka batin yang berkelanjutan. Emang tujuannya menyembuhkan diri dari berbagai perasaan dan ovt agar lebih mencintai diri sendiri. Gitu sih ya.
Namun Ardhi Mohamad bisa mengemasnya dengan kacamata berbeda yang lebih cantik. Buku ini emang mudah banget dicerna anak muda karena dilengkapi dengan banyak ilustrasi tulisannya. Tulisannya emang relate banget dalam merangkul siapa aja terutama gen Z yang masih galau mencari jati diri.
Baca Juga: Review KOPIRAITING: Seni Untuk Menjual Lewat Tulisan
Table of Contents
Kupas What’s So Wrong About Your Self Healing
Judul Buku: What’s So Wrong About Your Self Healing
Penulis: Ardhi Mohamad
Penyunting: Alvi Syahrin & Dana Sudartoyo
Penerbit: Alvi Ardhi Publisging
Jumlah halaman: 276
Cetakan: Cetakan kelima, Maret 2022
Nomor ISBN: 978-623-97002-1-8
Genre: Non Fiksi (Self Improvement)
Feels Like I Have The Worst Parents
“Dituntut untuk selalu baik. Dilarang menangis. Ngga boleh berulah. Dibanding-bandingin dengan anak lain. Dikasih banyak tuntutan. Sejak kecil, kita sudah dituntut untuk menjadi sempurna.”
Pernah ngga wondering kaya pengen give up aja. Kita jadi ngga PD ngomong di depan kelas, cenderung menutup diri, dan kadang malah gampang menyerah.
Padahal orang tua adalah hubungan pertama kita. Ikatan emosional yang seharusnya berhasil. Bisa mencintai tanpa syarat, hingga kita mempunyai perasaan dicintai yang cukup dan mudah mencintai diri sendiri.
Tapi yah.. ini bukan saatnya kita menyalahkan orang tua juga kan?
The thing is, a perfect parent doesn’t exist!
Ngga ada panduan saklek menjadi orang tua yang baik tuh kek gimana. Kondisi masing-masing keluarga juga berbeda, dan semua juga pengalaman pertama mereka dalam mengasuh anak. Begitu juga kondisinya akan bebrbeda dengan anak kedua, ketiga dan seterusnya.
Mungkin orang tua kita juga mendapat didikan yang membuat mereka jadi seperti sekarang.
Cukup! Jangan menyalahkan faktor eksternal karena ngga akan ada habisnya. Orang tua kita juga kesulitan, tapi mereka juga sudah berusaha. Don’t live this life hating our parents.
Dengan begitu, kita bisa mulai berdamai dengan diri kita sendiri. Dengan begitu, kita bisa mulai belajar berharap lagi.
Feels Like I Don’t Have A Friend
Coba deh kamu hitung temen kamu berapa? Yang beneran temen ya. Maksudku, semakin berumur tuh ngerasa ngga kalau sirkel kita makin mengecil. Temen juga ngga sebanyak dulu pas masih sekolah.
Bener ngga sih kalau kita ini generasi yang paling kesepian?
Dalam keadaan krisis, berapa teman dekat yang bisa kamu hubungi buat dimintai bantuan?
Eventually, we all have been there.
“Kok ngga ada yang peduli sama gue?”
“Kayanya gue cuma ganggu deh..”
Kita tuh ngga selamanya menjadi prioritas seseorang. Sering banget kalau kita dikelilingi banyak orang tapi perasaan sepi tetap menghampiri.
Karena yang menentukan loneliness itu bukanlah kuantitasnya, namun kualitasnya.
Ardhi Mohamad juga membagi type of loneliness menjadi Physical Aloneness, Loneliness, The State of Feeling Isolated, dan Solitude.
Pada akhirnya kalau kamu emang ngga punya siapapun, bahkan ngga punya apapun, kamu masih punya Allah.
Ketika kita hanya punya Allah, itu udah lebih dari cukup.
If we really believe.
Feels Like I Never Enough
“Oh kanan kiri gue pake HP semahal itu, kok gue pengen ya?”
“Wah si itu kok pendapatannya lebih gede? Gue segini-gini doang siii”
See? Standar kita akan berubah mengikuti reference point kehidupan kita saat itu.
Dulu tuh gaji 20 juta keliatan gede banget lho, nyatanya sekarang bisa kurang?
Kadang kita tuh lebih memilih berusaha agar orang-orang bisa menerima kita daripada belajar menerima diri sendiri.
Padahal orang yang punya alasan hidup kuat akan lebih mudah mengabaikan penilaian orang lain yang ngga relevan sama tujuan hidupnya.
Jadi yaa.. choose your reference point carefully.
Cause we’re the ones who create our own insecurity.
Feels Like I Worry All The Time
“Aduh, ngga bisa deh kumpul ama mereka, pasti ntar gue ditanyain masalah personal. Belum lagi kalau gue ntar dikacangin. Bikin malu banget!”
Pernah ovt macem gitu ngga? Seringggg! Kalau aku sih hehe.
Padahal cemas itu wajar, sih. Wajar banget. Soalnya jadi salah satu mekanisme pertahanan hidup manusia.
Kalau kita ngga punya kecemasan, malah bisa membahayakan diri sendiri. Jadi kecemasan juga menjadi emosi penting.
Simpelnya, pas ada deadline terus kita belum ngerjain, pasti cemas banget kan dan ini yang bantu kita buat mulai ngerjain.
But, kamu harus tahu batasan untuk kecemasan.
Ada lho kondisi ketika kecemasan ngga lagi dikatakan normal. Kaya kalau lebih banyak prediksi diisi asumsi daripada faktor nyata yang kelihatan.
So, kita butuh batasan yang bisa membedakan antara prasangka dan prediksi. Mana yang wajar dan masuk akal?
Ya ketika fokus pada proses bahwa kita udah melakukan yang terbaik, sehingga apapun hasilnya, kita ngga akan menyesal.
Karena memikirkan hasil yang belum tentu terjadi itu sia-sia!
Banyak hal yang ngga bisa kita pastikan, and that’s okay!
Baca Juga: Menilik Jejak Ilmu Pengetahuan dalam Enigma Pusaka di Kepulauan Indonesia
Penutup
Buku yang relate banget sama isu mental health ini cocok dibaca siapa saja. Karena sedikit banyak ada beberapa yang pasti relate ama hidup kamu sih.
Ada 10 bab yang menyuguhkan banyak kejutan dengan gambaran rinci di dalamnya. Semakin kamu membaca rasanya semakin dapet insight baru, kaya lagi dapet pencerahan dari seorang psikolog tapi ngga pake bahasa berat-berat.
Ardi Mohamad bisa memberi kekuatan kepada kita untuk bangkit dan fokus pada hal-hal yang kita miliki alih-alih merasa ovt.
Seburuk apapun hidup kita, kita tahu ada akhirnya. Kita tahu di ujung sana, asal kita bersabar. Kita bukan satu-satunya orang yang ditimpa musibah. Ngga usah merasa spesial.
Ada Yang Maha Kuasa yang membantu kita di setiap langkah.
12 Komentar. Leave new
Menarik yah bukunya, penasaran tapi kira2 ada ebook nya nggak yah? Karena jujur lebih enak baca ebook sekarang, hehehee
Bte terima kasih mba untuk referensi sekaligus review bukunya
Kalau aku nih lagi merasa bestie sejak SMA sekarang kok berbeda. Padahal duluuuu hal2 sakral maupun hal kecil pasti bersamanya. Ketika acara halbil, dia ada. Kupikir kami akan saling chat mau datang atau ga. Aku ga datang karena ga mood aja. Iya nih jadi curhat aku kayak tersingkirkan. Ya sudah aku mundur aja. Buku ini bagus buat self healing mental kita ya mbak.
Hehe makasih sharing ceritanya mbaa..
Buku ini cocok buat gen Z, tapi saya merasa perlu tahu isinya. Karena dengan tahu idinya, saya jadi lebih paham mengapa anak-anak cenderung merasa hampa dan sendirian, plus enggak ada yang mau merhatiin.
Ada yang bilang namanya manusia adalah tempatnya salah dan lupa, jadi sebanyak apapun kita membaca dan menonton mengenai self improvement, ada kalanya perlu diingatkan kembali. Dan habis baca ini aku jadi penasaran sama bukunya, bisa jadi salah satu asupan untuk lebih semangat lagi nih menjalani hidup
Nahhh yuk baca deh kak biar makin berasa disentil hehe
Menarik bukunya nih, membahas tentang konsep perbaikan diri yang sebenarnya, dan bagaimana cara memperbaiki diri agar terhindar dari luka batin dan kewarasan.
Cocok banget dibaca buat yang lagi galau dan terluka jiwanya
Wah ininih buku yang harus aku baca juga. Karena sering banget ngerasa enggak pede dalam banyak hal, ovt takut dengan pandangan orang lain. Ini bener-bener sangat melelahkan.
Wah bagus nih bukunya. Anak-anak muda kayaknya kudu pada baca buku ini. Soalnya semakin banyak aja deh kasus yang menyangkut kejiwaan yang terjadi. Bahkan sama anak-anak aku dan anak-anak muda di sekitar itu. Ah tapi, aku juga yang udah 40+, ada juga masanya di mana aku merasa sangat galau. Kepengen juga deh baca buku ini. Nyari aaaaah…
Penasaran banget pengen cobain baca bukunya mba, kayaknya itu bagus kalau ngelihat daftar isinya, rasanya ada beberapa sebagian di diri saya, siapa tahu dengan membaca itu bisa dapat pencerahan
Akhir-akhir ini sering baca buku atau ebook dengan tema self healing. Banyak juga yang bilang kalau semua akan sembuh seiring berjalannya waktu. Tetapi, menurutku itu tidak benar-benar sembuh, hanya saja kita sudah mulai terbiasa hidup berdampingan dengan luka 🙂
Memang benar jika seseorang sering banget merasa kesepian jika temannya sedikit. Padahal kesepian itu bukan kuantitas ya, teman teman juga semakin dewasa, semakin sibuk masing-masing