Istri yang Mudah Dibahagiakan
Selain dikenal sulit dimengerti, sebagian wanita kabarnya juga sulit dibikin bahagia. Mungkin ini soal kelas juga ya Gan, saya sebagai pria kelas bulu, tentu standar bahagianya beda dengan wanita yang datang dari kelas tembaga.
Ada wanita yang standar bahagianya dengan rutin ditransfer. Transferan menjadi poin maha penting untuk bisa membuatnya tersenyum gembira. Ada yang bahagia dengan diajak jalan-jalan ke luar negeri. Dengan dibelikan aset, dikasih kado city car berwarna pink metalik.
Tapi ada juga wanita yang begitu mudah dibahagiakan. Hanya dengan suaminya pulang pada jam yang tepat. Dengan diajak beli popok anak ke minimarket, atau dengan diajak berkunjung ke rumah orang tuanya.
Bahagia itu soal rasa. Mahal. Tidak terbeli.
Maka bersyukurlah jika Agan dikaruniai istri dengan ambang bahagia yang begitu rendah. Mudah dibahagiakan. Ini emas, Gan. Kilaunya sepanjang masa…
–Didik Darmanto–
Suatu hari aku menemukan tulisan itu di FB. Aku memang mengikuti tulisan kedua suami istri ini, dan menikmatinya.
Apakah mudah membahagiakan seorang istri? Tentu saja jawabannya akan beragam. Setiap istri punya pilihannya sendiri bagaimana memutuskan akan bahagia dengan cara apa.
Cerita Ibu yang (Tidak) Bahagia
Sudah tau kan berita tentang ibu yang ‘tega’ menggorok anaknya di Brebes? Benarkah dia bukan ibu yang bahagia? Apa iya suaminya kurang membahagiakannya?
Jawabanya yah, ngga tahu!
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Yah kita ngga bisa mengambil kesimpulan suka-suka sepihak. Selalu ada pro kontra dan berbagai spekulasi. Banyal yang ngejudge, menghakimi dan menyalahkan. Tapi juga tak sedikit yang ingin merangkul.
“You never really understand a person until you consider things from his point of view … Until you climb inside of his skin and walk around in it.” (Harper Lee, To Kill a Mockingbird)
Kita benar-benar ngga akan pernah tahu kondisi seseorang karena tak pernah hidup dengan caranya. Jadi, berhentilah menghakimi!
Baca Juga:
Apakah Kamu Suka Mengecek HP Pasangan? Yes or No!
Menjadi Relawan, Pendidik, sampai Ibu Rumah Tangga
Tangki Emosional Tiap Orang Berbeda
Kemarin mendengarkan pemaparan Roslina Verauli, seorang Family Psychologist kondang. Dalam psikologi, tiap manusia punya tangki-tangki dalam dirinya. Namanya tangki emosional. Seberapa rentan mereka atas stres, ditunjukkan dengan seberapa penuh tangki ini terisi.
Ada yang terlahir dengan kondisi biologis kecemasan lebih tinggi. Oh ya, ternyata kecemasan memang diturunkan. Ada juga yang lahirnya lebih agresif. Belum apa-apa, maka tangki emosionalnya udah terisi.
Sedangkan sewaktu kecil sudah lahir dan hidup di lingkungan yang disfungsional. Ayah yang sering berteriak, ibu yang marah-marah, ayah yang selingkuh, keluarga kesulitan ekonomi dan orang tua yang stres. Dampaknya anak-anak menjadi lebih sering dipukuli.
Agar anak tersebut tetap waras, maka mereka mencoba menghayati bahwa pukulan adalah bentuk cinta dan kasih sayang dari orang tua. Maka yang terjadi adalah, mereka akan punya trauma dengan kehidupan orang terdekat.
Secara psikologis ada orang yang ngga punya kemampuan mengendalikan diri dengan baik. Mudah overthinking. Ketika gelas emosionalnya lebih dulu penuh, hanya tinggal sedikit pemicu maka tangkinya akan luber. Bisa jadi dengan kehidupan yang berat dan keras, dia bisa melakukan apa saja.
Setiap orang punya daya lenting yang berbeda dalam menghadapi masalah. Ngga bisa juga dong kita mikirnya, “ih, segitu doang masa ngga bisa nahan? Kok bisa sih sumbu pendek banget.” Atau “kok dikit-dikit nangis sih!”
Karena tangki emosional tiap orang berbeda..
Postpartum Depression Lumrah Terjadi
Ada temenku yang baru dikaruniai seorang anak di pernikahannya yang ke sembilan. Suaminya juga baik banget, penghasilannya lebih dari mencukupi kebutuhan keluarga, sayang banget deh sama temenku. Tapi temenku tetep kena baby blues.
Terang aja aku langsung tanya, “kok bisa?”
“Yah ngga tahu. Ada suara-suara dalam diriku untuk menyakiti anakku. Aku jadi ngga mau menyusui. Ngga mau ketemu anakku. Aku merasa jahat, tapi aku ngga bisa menghilangkan bisikan-bisikan dari dalam kepalaku sendiri. Aku ingin merendam anakku dalam bak mandi,” terangnya saat itu.
Aku menganga mendengarkannya bercerita. Postpartum Depression itu real banget. Aku kira cuma cerita di media sosial. Ini temenku sendiri lho!
Terus apakah kita masih harus menyalahkan suami kalau kita ngga bisa bahagia?
Benarkah suami adalah orang pertama yang harus disalahkan ketika seorang istri sedang baby blues atau tidak bahagia?
Kalau aku sih ngga ya.
Jangan Mengandalkan Orang Lain untuk Bahagia
Dulu aku juga ter-brainwash kalau suami harus jadi orang nomor satu yang bisa memberi support kita dalam segala hal. Apakah benar begitu? Ngga sepenuhnya salah sih.
Menurutku, kita ngga bisa mengandalkan orang lain agar bisa bahagia. Kita pun ngga bisa bergantung pada orang lain untuk menemukan kebahagiaan, sekalipun dari suami sendiri.
Lantas bagaimana?
Cuma kita sendiri yang bisa membahagiakan diri kita masing-masing. Bagaimana caranya yah berbeda tiap orang.
Aku pernah membaca sebuah tulisan menarik di sebuah blog tentang pesan seorang suami kepada istri yang butuh liburan. Judulnya, “Pergilah Bu, Bahagiakan Dirimu”.
Pesan itu ditulis seorang bapak untuk anaknya, Jiwo. Intinya adalah sang bapak mengijinkan istrinya melakukan perjalanan ke luar kota sendirian. Baginya, membuat istrinya bahagia adalah membuat keluarganya bahagia.
Sebelumnya, tiga tahun yang lalu sang bapak pernah kecolongan karena istrinya mengalami Postpartum Depression. Depresi yang menyebabkan istrinya kerap menangis dan menjerit tanpa alasan. Depresi yang nyaris saja menghancurkan keutuhan keluarga mereka.
Kok bisa kecolongan? Karena dulu sang bapak membiarkan istrinya menjadi seorang ibu, tanpa mempersilakan dia menjadi dirinya sendiri.
Menjadi istri dan ibu rumah tangga itu ngga ada cutinya. Jadi sang bapak ingin memberikan cuti, agar sang istri melakukan suatu hal yang disukainya.
Bagaimana denganku?
Ambang Batas Bahagia yang Berbeda
Menurutku, tak ada suami yang tak ingin membahagiakan istrinya. Berani mengambil seorang anak gadis dari pelukan kasih sayang ayahnya itu butuh keberanian dan tanggung jawab besar lho.
Seorang anak perempuan yang dibesarkan penuh kasih sayang, dipenuhi kebutuhannya, pada akhirnya dilepaskan kepada orang asing yang belum lama dikenalnya.
Pernikahan itu disebut dengan Mitsaqan Ghaliza, sebuah perjanjian yang agung dihadapan Allah. Perjanjian lahir dan batin suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia. Langgeng dunia akhirat. Bukan till death do us apart but till jannah we’ll be together again.
Namun tak lantas membuat kita harus menuntut agar selalu dibahagiakan oleh suami.
Dulu aku juga ingin mendapatkan suami yang kerjanya ngga jauh, ngga perlu LDR-an. Pingin sekali-sekali dapet bunga dan siberi surprise romantis apa kek. Lucu juga ambang bahagiaku dulu, haha.
Semakin ke sini ternyata aku ngga butuh semua itu.
Ambang bahagiaku menjadi lebih sederhana. Sesederhana dia mau bangun tengah malam bergantian mengganti dan nyuci popok, membantu memandikan, bantu nyuapin, dan nyebokin pas lagi ke luar.
Sesederhana, ngga perlu disuruh dulu buat menjemur baju saat aku selesai nyuci. Mau bikin tumis kangkung dan nyambel saat aku males masak. Mau mengelus punggung saat mau bobo. Udah ngga neko-neko dan realistis. Ngga butuh pesawat jet pribadi buat bahagia.
Baca Juga:
Perempuan Sebagai Ibu Rumah Tangga Setelah Resign dari Kantor
Merawat Keluarga Tanpa Trauma Kekerasan Hubungan Beracun
Beri Kesempatan Istri Melakukan Hal yang Disukainya
Apalagi saat dia memberi jeda untukku buat melakukan hal yang kusukai. Ngbelog. Dia tahu benar aku suka menulis dan membutuhkan sebuah wadah meyalurkannya.
Dia juga mengijinkanku tetap berkomunitas, bertemu teman-temanku buat gowes bareng atau sekadar nongrong di café tanpa anak-anak.
Seorang istri juga merupakan seorang perempuan bagi dirinya sendiri. Seorang istri boleh saja mendedikasikan hidup untuk anak dan suaminya. Memang itu tanggung jawab seorang istri, tapi sebagai perempuan dia juga berhak memiliki mimpi untuk dirinya sendiri.
Seorang istri tentu saja harus punya me time untuk menjaga kewarasannya. Susah lho kalau istri ngga punya waktu untuk melakukan hal yang disenanginya. Bisa gila!
Minimal hal remeh seperti, mandi lebih lama, nonton drakor, gowes bareng temen, bikin indomie pake telor tengah malam, bahkan seremeh jajan ke indomaret sendirian.
Istri juga perlu upgrade diri dengan menekuni hobinya, mengembangkan skill dan passionnya. Kalau aku kan suka nulis, jadi aku lumayan sering ikut kelas menulis bikin antologi bahkan optimasi blog. Itu me time buat aku.
Jadi buatku, suami itu bukan support system. Suami adalah main system!
Penuhi Dulu Tangki Bahagiamu Sebelum Membagikannya
Dulu, temenku pernah nyeletuk, “Eh, Lintang sekarang sering dandan lho sejak nikah”. Seolah-olah aku dandan untuk membahagiakan suami. Emang sih, dari jaman sekolah aku ngga begitu ngurusin penampilan.
Mungkin bagi sebagian orang terdengar wajar, saat seorang istri tampil cantik karena ingin membahagiakan suami. Seorang istri harus pintar masak, untuk membahagiakan suami. Atau seorang istri harus bisa ini itu biar suaminya senang. Iya bener.Tapi sungguh aku ngga seperti itu.
Aku ingin berdandan ya karena aku sedang bahagia saat melakukannya. Bukan karena ingin membahagiakan suamiku. Aku setuju dengan konsep bu Septi yang bilang, “saya harus bahagia menjalankan hidup saya dulu, baru bisa tulus dan ikhlas membahagiakan orang lain, meski itu suami saya.”
Bagaimana kita bisa berbagi kebahagiaan dengan orang lain, kalau tangki kebahagiaan kita sendiri sedang kosong. Apa yang akan dibagikan?
Aku ngga akan berpura-pura bahagia demi membuat orang lain senang atau bahagia. Bagiku, merias wajah itu ribet. Dandan termasuk ranah suka tapi tidak bisa buatku. Kalau aku sedang ingin berdandan, berarti aku sedang meletakkan hatiku di sana.
Kalau pun suami suka, itu adalah bonus. Aku merawat diri karena aku menghargai dirku sendiri, bukan untuk membahagiakan siapa-siapa.
Karena orang yang bahagia tidak akan pernah menuntut orang lain untuk membahagiakannya..
Jangan lupa bahagia ❤
4 Komentar. Leave new
Makjleeeb!
Hahay … Aku sempat iri padamu yang bisa ngumpul Sana sini ga Bawa anak tapiii ku punya Cara bahagia yang lain. So, tiap manusia punya cara asik untuk bahagia. Find it in yourself.
Entah ya mak, emang rumput tetangga selalu lebih hijau. Aku pun berharap suatu hari bisa fokes mendampingi tumbang seperti para keluarga homschooler huhu 🙁 Bia bebikinan DIY an tiap hari yang seruuu!
Bahasan bahagia ini sungguh menjadi topik yang menarik ya, mak. Suka dengan part bahwa tiap orang memiliki tangki emosi berbeda dan tiap orang juga mesti mengisi tangki bahagianya sendiri agar bisa ‘menularkannya’ ke orang lain.
Semangat selalu untuk kita, para perempuan, semoga bisa bahagia dalam menjalani berbagai peran dalam hidup.
Yaaa mak bener banget. Apalagi saat ini lagi happening banget tentang mental health.
Sebagai sesama perempuan memang kita harus support, bukan jamannya lagi mom war seperti ibu bekerja vs IRT, lahiran normal vs sc.
Ahh capek banget kan ngurusin yang ngga penting.
Jangan lupa bahagia ya mak!