“Pada 11 Juli 2018, TPA Supit Urang longsor. Longsor tersebut menyebabkan salah satu pemulung setempat tertimbun sampah yang longsor saat sedang mencari barang yang dapat dijual. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supit Urang di Malang setiap harinya menampung sampah sebanyak 500 ton sampah. Tidak terbayang seberapa tinggi gunungan sampah yang terbentuk di TPA Supit Urang.”
Gimana temen-temen? Ngga ada habisnya kan, kalau mau ngomongin tentang sampah. Menurut temen-temen, sebenernya sampah itu apa?
Cukupkah slogan “Buanglah Sampah Pada Tempatnya!”?
Apakah benar dengan menjalankan slogan “Buanglah sampah pada tempatnya”, kita sudah membantu dan peduli pada lingkungan?
Ternyata kita ngga hanya cukup membuang sampah pada tempatnya. Tapi kita juga harus memilah sampah sesuai jenisnya kemudian mengolahnya. Mengapa?
Sampah tuh ngga tiba-tiba ada dengan sendirinya. Sesuatu baru bisa disebut sampah kalau udah selesai dikonsumsi. Pernah ngga sih temen-temen berpikir, “ke mana sampah kita pergi?”.
Saat kita membuang sampah entah itu sampah makanan atau bungkus makanan ke tempat sampah, maka sampah itu bakal dibawa ke tempat pembuangan sampah. Biasanya akan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Ketika sampah yang ada di paling bawah mengalami pembusukan, maka terbentuklah gas metana. Dalam proses kimia tersebut dihasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Gas metana ini yang akan merusak lapisan ozon Bumi, karena gas metana termasuk gas-gas rumah kaca yang bisa mengakibatkan perubahan iklim.
Table of Contents
Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Limbah
Gas metana merupakan salah satu Gas Rumah Kaca (GRK) yang bisa menyebabkan efek rumah kaca. Ini juga salah satu penyebab terjadinya pemanasan global (Global Warming). GRK yang dihasilkan dari proses pengelolaan sampah didominasi oleh gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Sampah timbul dari sisa proses produksi dan sisa pemakaian produk, baik dari aktifitas domestik/ rumah tangga, pasar, pertokoan, penyapuan jalan dan taman atau, industri yang menghasilkan buangan padat sisa produksi (Damanhuri, 2004).
Saat ini kurang lebih 450 TPA di kota besar menggunakan sistem open dumping dan baru sebagian kecil menggunakan controlled landfill. Gimana sih itu?
Open dumping tuh membuang sampah pada suatu cekungan tanpa menggunakan tanah sebagai penutup sampah secara terbuka. Cara ini udah ngga direkomendasikan oleh pemerintah karena udah ngga memenuhi syarat teknis TPA. Sistem ini potensial banget dalam mencemari lingkungan karena menyebabkan pencemaran air tanah oleh cairan lindi (air sampah yang bisa menyerap ke dalam tanah), lalat, bau dan sarang binatang.
Potensi sampah yang dapat dihasilkan dari 45 kota besar di Indonesia mencapai 4 juta ton/tahun. Potensi gas metana yang bisa dihasilkan mencapai 11.390 ton CH4 / tahun atau setara dengan 239.199 ton CO2 / tahun, jumlah ini merupakan 64% dari total emisi sampah berasal dari 10 kota besar, antara lain : Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Palembang, Makasar, Bekasi, Depok, dan Tanggerang (Arie Herlambang, 2010).
Gambar di atas adalah Capaian Pengurangan dan Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga yang terdiri dari 276 Kabupaten/ kota se-Indonesia. Nah, dari sini maka bisa diketahui juga grafik komposisi sampah berdasarkan jenis sampah dan sumber sampah.
Dari grafik tersebut tampak jelas bukan, kalau yang paling dominan adalah warna biru. Sampah rumah tangga adalah penyumbang sampah terbesar dengan komposisi 38,3%. Kemudian sampah sisa makanan menyumbang komposisi 40,3%.
Selain itu biasanya juga ‘memusnahkan’ sampah dengan cara dibakar, ya kan? Padahal pembakaran sampah juga bisa menghasikan gas rumah kaca seperti CO2, N2O, NOx, NH3, dan karbon organik. CO2 menjadi gas utama yang dihasilkan oleh pembakaran sampah dan dihasilkan cukup lebih tinggi dibandingkan emisi gas lainnya. (Johnke, n.d.)
Potensi Reduksi Emisi GRK dari Aksi Pemanfaatan Gas Metana
Pemerintah sudah menetapkan target reduksi emisi dari tiap sektor yang harus dicapai pada tahun 2030. Nah secara khusus bagi sektor limbah, maka target reduksi emisi GRK hingga tahun 2030 diharapkan sebesar 11 juta ton CO2. Target ini bisa dipenuhi dari berbagai usaha mitigasi pengelolaan limbah padat dan cair. Salah satu reduksi emisi pada limbah padat domestik salah dengan pemanfaatan gas metana (CH4) yang dihasilkan dari tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) atau Landfill Gas (LFG).
Pada TPA Supit Urang dilakukan inovasi penangkapan dan pemanfaatan gas metana dari timbunan sampah yang bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif buat warga sekitar. Sebenarnya gas metana ini berbahaya banget, tapi kalau bisa dimanfaatkan malah bisa mengurangi pemicu pemanasan global. Pemanfaatan gas metana sebagai bahan bakar alternatif adalah solusi bijak yang bisa kita lakukan dalam upaya mitigasi reduksi dampak bahaya gas metana.
Pemanfaatan Gas Metana TPA Supit Urang
Saya bergabung di sebuah komunitas Rumbah Belajar (Rumbel) Minim Sampah yang digawangi oleh Ibu Profesional Malang Raya. Rumbel Minim Sampah ini memang konsen banget terhadap upaya zero waste menuju rumah minim sampah. Kami sempat melakukan kunjungan ke TPA Supit Urang dan sekalian ngobrol bareng Bapak Kusyono. Beliau selaku koordinator kebersihan tahun 2019 TPA Supit Urang kota Malang.
Jadi sampah kota Malang sendiri rata-ratanya mengangkut 125 truk dikali masing-masing 4 ton yaitu sekitar 600 ton sampah perhari. Dan kemungkinan jumlahnya malah lebih banyak lagi per hari yang masuk ke TPA. Sampah yang datang bisa langsung diratakan dan dipadatkan dengan alat berat (Controlled Landfill).
Dari luas tanah 32 hektar lahan, 16 hektar tanah udah digunakan sebagai sel aktif TPA. Nah sisa 16 hektar ini sedang dilakukan pembangunan modern TPA. Jadi pembuangannya ngga secara langsung lagi tapi ada penggalian kemudian diberi terpal rangkap tiga dan bagian tengahnya diberi koral setebal 50 cm. Fungsi koral ini sebagai resapan air lindi.
Pak Kusyono juga bercerita pemanfaatan gas metana di TPA Supit Urang, lho.
Ternyata TPA Supit Urang udah ada sumur gas metana sejak 2012 sampai sekarang. Dalam studi oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang, ternyata TPA SUpit Urang memiliki potensi gas metana sebesar 4.521 ton/tahun yang dihasilkan oleh timbunan sampah.
Saat ini telah dibangun fasilitas berupa pipa-pipa aliran gas metana dari 72 titik (sumur gas) yang langsung mengalir ke rumah tangga sekitar TPA. Awalnya sih mampu sampai melayani sekitar 510 rumah tangga, namun ada kerusakan pipa saluran dan penurunan kandungan gas metana di beberapa titik. Jadi penerima manfaat gas metana menurun jadi hanya sekitar 100 rumah tangga.
Terus temen-temen penasaran ngga, kira-kira dengan pasokan sampah setiap hari rata-rata 600 ton, bisa penuh ngga TPA nya?
Sebetulnya bisa penuh tapi ada penataan dengan perataan itu tadi yang bisa bikin penurunan. Sampah juga bisa susut setelah berpuluh tahun. Kalau kapasitas TPA udah penuh maka akan ada kemungkinan pembelian tanah untuk membuat TPA yang baru.
Sebenarnya sudah ada sosialisasi RT RW untuk pemilahan sampah sesuai jenisnya. Harapannya agar pengolahannya lebih enak. Bahkan sampai sering ada kunjungan dari Denmark, Jerman, dan negara maju lainnya sebagai mentor pengolahan sampah misalnya untuk pengolahan sampah basah dan kering.
Pak Kusyono menyebutkan bahwa lebih enak kalau dari masing-masing rumah bisa memilah sampahnya sendiri. Hal ini akan lebih memudahkan pengolahan sampah lanjutan di TPA. Tapi semakin ke sini makin rendah kesadaran masyarakat untuk memilah sampah.
Sedangkan di TPA Supit Urang juga sudah ada fasilitas pemilahan sampah dan penggilingan kompos dari sampah pasar. Tapi tetep saja sampah rumah tangga paling merepotkan, tutur beliau. Kemudian beliau juga menunjukkan pemanfaatan gas metana sebagai bahan bakar kompor gas. Sudah dimanfaatkan di perkampungan Supit Urang.
Nah udah tersampaikan bukan pesan pak Kuscahyono, tentang repotnya memilah sampah rumah tangga. Di sinilah saya sebagai ibu rumah tangga merasa terpanggil dan wajib mengambil peran dalam kontribusi mitigasi penurunan emisi GRK.
Peran Ibu Rumah Tangga dalam Mitigasi Reduksi Emisi Gas Rumah Kaca
Emang ibu rumah tangga bisa apa?
Faktanya, sekitar 38,3% sampah berasal dari rumah tangga. Nah, sebagai ibu rumah tangga yang menjadi garda utama pintu rumah tangga, justru kita bisa melalukan hal sederhana seperti memilah sampah yang akan masuk ke dalam rumah.
Jangan salah yah, justru ibu rumah tangga yang punya peran besar dan tanggung jawab dalam urusan persampahan. Rumah tuh gerbang utama yang memungkinkan sampah bisa masuk. Mulai dari kita belanja misalnya, ada potensi tuh bawa sampah masuk ke dalam rumah. Belum sampah yang udah ada di rumah itu sendiri. Sampah plastik, tas kresek, pampers, wah banyak banget.
Sebagai ibu, saya juga bisa menyuarakan aksi saya pada semua penduduk rumah. Saya sebagai contoh utama agar anak-anak kami, #MudaMudiBumi juga bisa mencontoh gerakan yang saya gaungkan. Kepada merekalah kelak tongkat estafet kebaikan ini akan dilanjutkan.
Pengelolaan sampah juga merupakan salah satu aksi mitigasi yang berpotensi menurunkan emisi GRK lho, dibandingkan dengan sampah diabiarkan gitu aja. Kita bisa mengurangi sampah kemudian memanfaatkan kembali barang yang masih bisa digunakan, mendaur ulang dan membuat kompos, serta pemulihan energi juga menjadi salah satu cara meminimalisasi emisi gas rumah kaca akibat sampah.
Jadi saya ambil langkah sederhana yang harapannya membawa dampak besar bagi Bumi, saya mulai dengan menerapkan langkah Cegah, Pilah, dan Olah.
Cegah sampah Masuk dalam Rumah
“Mulailah dari diri sendiri dulu. Jangan muluk-muluk menyuruh orang lain untuk zero waste. Ajarkan orang lain melalui diri kita sendiri, sehingga mereka bisa meniru. Selesaikan diri kita sendiri dulu.” Siska Nirmala (Zero Waste Adventure)
Bagaimana agar tidak timbul sampah? Jawabannya adalah Cegah! Setidaknya saya belajar mengurangi memasukkan barang yang berpotensi menjadi sampah di rumah. Misalnya dengan membawa kantong belanja sendiri, bawa botol minuman dari rumah, bawa wadah makanan buat beli jajan di luar. Harapannya adalah dengan meminimalkan masuknya sampah plastik baru ke dalam rumah.
Pilah Sampah dalam Rumah
Nah, misalnya udah ada sampah yang ‘terlanjur’ masuk ke dalam rumah, gimana dong penanganannya?
Di sinilah saya mulai memilah sampah rumah tangga saya. Sebelumnya, saya sudah menyediakan sendiri tempat untuk tiap jenisnya. Ini memudahkan banget, karena untuk sampah organik bisa langsung diolah. Sedangkan yang anorganik bisa disetorkan ke Bank Sampah atau komunitas tertentu.
Kota Malang sendiri juga punya komunitas Sahabat Alam Cilik dan pengepul Minyak Jelantah. Ternyata minyak jelantah juga bisa diolah menjadi sabun. Bahkan sebenarnya minyak jelantah juga bisa dijadikan bahan baku pembuatan biodiesel lho. Saya pernah mencoba bikin, sebagai Tugas Akhir kuliah dulu.
Kemudian ada Bank Sampah Malang (BSM) yang mewadahi pembinaan, pelatihan, pendampingan serta pembelian dan pemasaran hasil pengelolaan sampah dari masyarakat Kota Malang untuk mengurangi sampah di TPS/TPA dengan edukasi masyarakat.
Olah Sampah Organik Menjadi Kompos
Tahap selanjutnya setelah memilah adalah mengolah. Bersama teman-teman komunitas Rumbel Minim Sampah pun akhirnya kami mecoba mewujudkan harapan Pak Kusyono. Kami belajar mengolah sampah rumah tangga kami masing-masing dengan membuat kompos. Semua ini agar tidak memberatkan tugas pengolahan sampah akhir di TPA. Rumbel Minim Sampah pun menggelar acara bertajuk Pengolahan Sisa Organik dan Komposting.
Jadi kami belajar membuat Komposter Pot yang bahasa kerennya Easy Lazy Composter. Kenapa?
Ya karena super duper gampang dan kebangetan kalau masih males bikin. Jadi ngga ada lagi alasan ngga punya lahan atau ngga sempet, karena ini udah anti rempong banget. Harapannya setelah mengikuti acara ini, kami bisa menerapkannya kembali di rumah masing-masing untuk mengolah sampah sisa makanan rumah tangga kami. Anak muda (anak-anak yang lagi indekos) juga ngga bisa alasan malas bikin karena ngga ada lahan, karena kamu cukup menyediakan pot aja untuk bikin komposter ini.
Yuk intipin deh cara bikin starter komposnya..
Alat dan Bahan
- Siapkan pot besar dengan diameter minimal 45 cm. Ngga punya pot? Pakai ember bekas, kaleng cat, atau karung. Jangan lupa potnya dilubagi ya bawah dan pinggir-pinggirnya.
- Unsur hijau (sisa bahan organik selesai masak, bisa sayur dan kulit buah). Jangan lupa dicacah. Jangan terlalu basah (tiriskan dulu), jangan bersantan. Dan sebaiknya jangan sisa protein hewani seperti tulang ayam.
- Unsur coklat untuk alas dan tutup (daun kering, sekam, serbuk gergaji).
- Tanah
- Pupuk kandang atau pupuk kompos tanah.
- Air leri 300 ml (air cucian beras). Sebaiknya air leri ini yang sudah dibiarkan semalaman jadi yang berbusa lebih baik. Bisa juga gula jawa.
- Tutup pot.
Langkah Membuatnya
- Pot plastik yang sudah dilubangi bawah dan samping-sampingnya diberi alas unsur coklat (daun kering atau yang paling baik serbuk gergaji).
- Atasnya diberi tanah kemudian di atasnya ditambahi pupuk kandang.
- Tambahkan unsur hijau yang sudah dicacah.
- Siram dengan air leri secukupnya.
- Tutup dengan unsur coklat lagi.
- Tutup lagi potnya sampai menutup semua permukaan pot.
Starter kompos ini didiamkan 2-3 hari (ngga usah dimasukkan apapun lagi). Sampe terasa hangat, berarti komposternya sudah jadi. Baru sisa sampah organik selesai masak sayur, atau kulit buah bisa langsung dicemplungin ke komposter pot deh.
Kapan panen kompos?
Saat komposter pot sudah penuh. Juga jangan lupa melakukan pengadukan seminggu dua kali. Kalau sudah penuh, tutup pakai plastik dan tunggu sampai 3 minggu.
Cara panennya, sisain 1/3 buat starter tahap berikutnya. Jemur yang 2/3 selama 3 hari (diangin-anginkan saja) baru bisa dipakai. Kenapa sih dijemur? Biar bakteri pengurainya mati. Biar ngga menguraikan akar tanaman.
Tuh kan ternyata mudah banget bikin kompos. Tentu saja kita bisa mewujudkan rumah minim sampah dengan mengolah sampah makanan mulai dari dalam rumah. Untuk sisa makanan organik bisa dijadikan kompos, sedangkan yang anorganik bisa didonasikan ke Bank Sampah (sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku).
“Sing soko lemah kudu mbalik nang lemah”
Jadi saya bersumpah, sebagai ibu rumah tangga #MudaMudiBumi juga ikut mengambil peran dan aksi nyata untuk Bumi yang lebih baik. Saya berjanji lebih rajin memilah dan mengolah sampah sebagai salah satu upaya mitigasi perubahan iklim.
Saya juga akan memberi pelatihan untuk karang taruna remaja di daerah saya agar bisa mengolah sampahnya masing-masing, setidaknya bisa membuat komposter pot. Kalau bukan pada mereka, kepada siapa lagi kebaikan melestarikan Bumi akan dilanjutkan?
Saatnya #MudaMudiBumi melanjutkan estafet dengan berkontribusi dan memberi aksi nyata #UntukmuBumiku agar Bumi menjadi hunian yang lebih nyaman untuk anak cucu kita nanti.
Yuk, olah sisa makanan kita mulai dari dalam rumah. Inilah saatnya #TimeforActionIndonesia agar kita semua #MudaMudiBumi turut ambil peran menjadikan Bumi menjadi lebih baik lagi!
Referensi
Arie Herlambang, dkk. 2009. Teknologi Pengolahan Sampah Kota Intermediate Treatment (Cell System), DIKTI- BPPT.
Damanhuri, E dan Padmi, T. 2004. Diktat Kuliah Pengelolaan Sampah. ITB: Bandung.
Johnke, B., n.d. Emissions from Waste Incineration. Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National Greenhouse Gas Inventories, pp. 455-468.
Kusyono. “Kunjungan IP MAlang Raya ke TPA Supit Urang”. Hasil Wawancara Pribadi.
Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/
Wardhani, DK. 2018. Menuju Rumah Minim Sampah. Pustaka Rumah Main Anak.
34 Komentar. Leave new
selama proses pembuatan pupuk organik itu menimbulkan bau yang tidak sedap ga sih mba? terus pupuknya kamu pakai untuk tanaman yang sengaja di tumbuhkan di rumah kah mba?
Emang ada kalanya bikin kompos menimbulkan bau ngga sedap karena lembab. Nanti bisa ditambahkan unsur coklat seperti jerami dan tanah biar ngga bau. Kalau udah panen ya emang komposnya buat pupu di tanaman2 rumah aku mba.
Kebetulan juga di rumah lagi buat green house gitu dan sampah-sampah nya diolah dan dipilih untuk menjadi kompos. Lumayan membantu juga sih.
Wahh keren. Semoga dari yang sederhana bisa memberi dampak besar yah
Ibu rumah tangga juga punya peran tersendiri ya ternyata. Dan kalau semua ibu rumah tangga konsisten, Insyaallah target akan dengan cepat bisa tercapai…
Optimis kita bisa!
Semangat kan menjadi agent of change ibu rumah tangga mbaa.
Biodiesel, biofuel, pemanfaatan kotoran sapi untuk gas metana, komposter pot, hal-hal kecil yang sudah seharusnya dipahami banyak orang ya, L. Demi Bumi yang lebih baik, perbuatan kita hari ini bakal memberikan pengaruh besar.
Yaa Rai bener banget. Bahkan kentut sapi yang menyumbangkan gas metana terbesar itupun sebenernya bisa banget dimanfaatkan sebgaia biogas. Ini buat energi alternatif juga lhoo.
Bu dian DK dulu dosen saya hehe.. saya belum memulai membuat kompos sendiri nih.. soalnya dr RT memang disarankan untuk dibuat komunal.. jadi warga cuma memilah sampah organik nanti ada petugas sendiri yg mengolah..
Oh yaahh. wah keren banget bisa menjadi mahasiwa bu DK. Ngga papa sih mba kalau emang bisa kolektif bikin komponya. Keren itu mah.,bisa membangun kesadaran RT.
Ngomongin pengolahan sampah, aku sih berharap kita segera punya solusinya ya untuk meminimalisir tumpukan di beberapa TPA
Yah dengan mengelola sampah kita sendiri dari rumah. Minimal itu dulu.
pengelolaan sampah memang masih jadi pe’er besar di indonesia mba.. soalnya kesadaran masyarakat juga masih minim. syukurlah sekarang udah ada jasa2 pengolah sampah, jadi buat yang udah ada kesadaran dan mau partisipasi, bisa menyalurkan ke sana
Bener banget. Tapi tetep saja limbah sampah rumah tangga memberi sumbangan terbesar. Semoga ke depannya semakin sadar pentingnya mengelola sampah dari rumah ya mba.
Tentang sampah memang harus lengkap penanganannya, dari buang ke tempatnya dan lakukan juga pengolahannya dengan tepat
Betul mba Fen..
Benear banget mba, mulai dari diri sendiri, baru tularkan kebiasaan baik itu pada yang lain. Saya mau nyoba buat kompos sampah rumah tangga lagi setelah membaca ini. Jadi semangat lagi. Nampak kecil, tapi memberikan kontribusi utk zero emisi rumah kaca ya.
Iya justru dari hal sederhana yang konsisten semoga bia memberi dampak yang besar..
Saya yakin kalau semua rumah tangga sadar utk kelola sampah, masalah kita bisa terkurangi atau malah terselesaikan. Kami di rumah pun memilah, sampah anorganik aja yang dibuang, itu pun yg udah ga bisa dipakai. Kalau kertas kado atau kardus masih kami manfaatkan untuk mengemas paket produk jualan. Untuk sisa bahan organik kami jadikan kompos. Kasihan kalau tukang sampah kebauan di TPA padahal ada pemulung yang cari nafkah juga. Andil kecil untuk kesehatan Bumi kita.
Wah keren banget mas Rudi. Panutan banget tuh. Iya kalo anorganik mialnya plastik bekas makanan bisa tuh dijadikan ecobrick. Bener banget deh kalo kita bisa membantu meringankan pengelolaan sampah di TPA dengan mengolah sampah rumah tangga kita. Setuju banget!
Ternyata penyumbang sampah terbanyak itu dari rumah tangga ya, Mbak. Jadi ingat salah satu webinar yang pernah saya ikuti juga mengatakan bahwa polusi air sungai dan laut itu justru lebih banyak dari limbah rumah tangga daripada industri. Jadi sebagai ibu rumah tangga kita punya peran besar nih untuk mengelola sampah lebih baik, syukur-syukur kalau bisa zero waste.
Iya donggg bayangin deh berapa banyak rumah tangga yang setiap harinya pasti mereka menghasilkan sampah. Makanya kita wajib banget mengelola sampah mulai dari dalam rumah untuk membantu meringankan pengelolaan sampah di TPA juga. Bismillah bisa menuju zero waste mesipun mungkin ngga bisa 100% yah.
iya ya mbak
ibu rumah tangga bisa berperan , caranya dengan mewujudkan rumah minim sampah
mencegah sampah masuk ke rumah dan mengolah sampah dapur sendiri
Iya ini kewajiban ibu-ibu banget supaya bisa melanjutkan estafet cegah, pilah, olah pada #MudaMudiBumi
Janji mbak Lintang keren sekali ini. Saya jadi tertampar masih suka nggak perhatian sama sampah. Suka buang tidak pada tempatnya. Hiks.. tapi baca artikel ini jadi tergerak ikutan menjadi pemerhati sampah
Semangat mba Mal.. sesama emak-emak juga wajib saling mendukung menjadikan Bumi bebas sampah. etidaknya bisa ikut andil mengolah sampah dari rumah.
Masalah lingkungan di Indonesia ini nggak jauh-jauh dari sampah ya. Perlu upaya serius dari rumah untuk sadar gerakan zero waste. Kalau saya pribadi sekarang bawa tempat minum dari rumah, kantong belanja sama alat makan sendiri. Biar nyaman aja di ati apalagi sekarang pandemi kalau mau pake alat makan dari luar juga was was
dirumahku udah lama mulai melakukan pembuatan pupuk sendiri, ada 3 tong dalam tahap membuat pembuatan komposnya, dan tetangga =tetangga di sekitar rumahku juga melakukan yang sama
Yup harus mulai dari diri sendiri dulu ya. Jadi terinspirasi dan termotivasi juga setelah baca postingan ini biar lebih bijak lagi dalam mengelola sampah rumah tangga.
Banyak banget ternyata ya potensi sampah yang dapat dihasilkan. Dari dari 45 kota besar di Indonesia aja, sampahnya bisa mencapai 4 juta ton/tahun. Gimana kalau seluruh Indonesia
[…] rumah yang sehat dan lingkungan hidup yang restoratif adalah salah satu hal paling berharga yang dapat Anda lakukan untuk […]
[…] juga penjelasan Kak Tian dari Hutan Itu Indonesia terkait peran hutan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Beliau juga menceritakan kisah heroik para pahlawan penjaga hutan. […]
[…] Estafet Mitigasi Reduksi Gas Rumah Kaca Melalui Pengolahan Sampah […]