“Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan permintaan terhadap industri tekstil meningkat 30% pada Ramadan 2022 dibandingkan tahun lalu. Peningkatan terutama terjadi di sektor pakaian jadi baik skala industri maupun Industri Kecil Menengah (IKM)” (sumber: cnbcindonesia.com)
Baju baru, alhamdulillah. Untuk dipakai di hari Raya..
Kamu masih ingat dengan lagu anak-anak tahun ’90 an ini kan pastinya? Kenyataannya memang lirik lagu yang dinyanyikan oleh Dhea Ananda ini sudah menggambarkan pola konsumsi masyarakat Indonesia jelang Idul fitri sejak puluhan tahun yang lalu.
Table of Contents
Industri Tekstil Kembali Bergairah
Memang secara tradisi, Ramadan adalah puncak konsumsi masyarakat Indonesia. Bukan hanya makanan, tapi juga peningkatan konsumsi pakaian.
Mungkin kalau tahun kemarin memang masih lesu yah, karena pandemi juga kan. Kebijakan di rumah saja dan hantaman Covid 19 membuat kegiatan beribadah dibatasi karena menimbulkan kerumunan. Tapi lebaran kali ini sudah masuk era new normal, jadi waktunya belanjaaaaa.. hahaha.

(sumber: dok. pribadi olahan canva)
Aku pun sempat survey sederhana melalui story Instagram, dan ternyata memang lebih dari 50% masih euforia membeli baju baru. Ada yang memang dibelikan eyangnya, ada yang dapat dari hampers, bahkan juga ada yang memang sengaja beli karena sudah tradisi.
Dilansir dari cnbcindonesia.com, pengelolala Pasar Tanah Abang Hery Supriyatna mengatakan jumlah pengunjung Pasar Tanah Abang pada awal Maret sudah mencapai 25-30 ribu orang. Fashion muslim yang paling diburu, apalagi nih cewek-cewek. Ngga cuma beli baju tapi sekaligus pernak-perniknya, mulai dari hijab sampai flat shoes.
Padahal tahukah kamu bagaimana sisi gelapnya industri fashion?
Mengenal Sisi Gelap Fast Fashion
Sebelumnya aku mau tanya dulu, kamu udah pernah mendengar tentang fast fashion apa belum?
Fast fashion itu sistem produksi fashion dengan biaya rendah, volume besar, serta kecepatan tinggi sejak proses desain sampai siap dijual. Ada kan tuh fashion khusus musim dingin, musim panas, kalau ada tren baru maka cepat-cepat produksi baju yang trendy.
Dilansir dari Council for Textile Recycling 2020, 80 milyar garmen diproduksi setiap tahun. Di seluruh dunia, semua industri tekstil menghasilkan 400% pakaian lebih banyak daripada 20 tahun yang lalu.

(sumber: consciouslivingtv.com)
Gampangnya tuh gini, jika dipukul rata maka seseorang hanya akan memakai pakaian yang sama sebanyak 7 kali saja. sebelum pakaian tersebut terbengkalaia, disumbangkan ataupun dibuang.
Ternyata di Amerika, rata-rata setiap orang bisa membuang 35 kg pakaian mereka setiap tahun! Bahkan para wanita cuma memakainya 20-30% yang ada di lemarinya.
Menurut data Boston Consulting Group pada 2015 lalu, industri tekstil bisa menghasilkan 80 milyar meter kubik limbah air, 1,8 milyar karbon dioksida, dan 92 juta ton sampah.
Ke mana perginya baju yang tidak terpakai itu?

(sumber: olahan canva)
Pakaian tersebut akan dibuang ke landfill!
Di balik gemerlapnya industri fast fashion era globalisasi saat ini, juga terdapat sisi gelap lain yang menjadi rahasia umum.
Harga Tersembunyi Pakaian Murah dan Eksploitasi Buruh
Berbagai merk terkenal mendapatkan tekanan untuk menyediakan pakaian murah dengan keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga mereka mati-matian mencari sumber-sumber murah dari seluruh dunia, fenomena ini disebut “mengejar jarum”.
Masih ingatkah kamu kisah pilu pada 2013 lalu di Komplek pabrik Rana Plaza di Dhaka, Bangladesh? Saat itu 1.138 pekerja pabrik busana tewas karena gedung 8 lantai yang runtuh.
Di Ethiopia, bahkan upah minimumnya sepertiga Bagladesh, rata-rata £5,75, sekitar Rp100.000 seminggu.
Kalau kamu pernah baca berita tentang sistem kerja paksa di India, 99,2% buruh tekstil tunduk pada sistem kerja paksa berdasarkan hukum di India. Mereka tidak menerima upah minimum yang ditetapkan negara.
Memang industri fast fashion biasanya mempekerjakan wanita berpendidikan rendah, muda, dan imigran (bukan penduduk asli). Mereka harus bekerja selama 14 jam/hari, upah rendah, tidak memiliki jaminan keselamatan kerja, dan bahkan bekerja dalam kondisi yang bisa membahayakan diri mereka utnuk memproduksi fast fashion.

(sumber: olahan canva)
Miris ngga sih? Dibalik gemerlapnya baju yang kita pakai ternyata ada eksploitasi sebesar itu? Belum lagi dampak lingkungannya terhadap perubahan iklim.
Hah! Masa iya sih baju yang kita pakai bisa berpengaruh sama perubahan iklim. Kok bisa sih? Gimana ceritanya?
Dampak yang Ditimbulkan Fast Fashion terhadap Perubahan Iklim

(sumber: olahan canva)
Faktanya memang fast fashion tuh menjadi salah satu penyumbang terbesar polusi limbah fashion yang bisa merusak lingkungan seperti air, tanah, maupun penghasil gas emisi rumah kaca yang menyebabkan climate change (perubahan iklim).
UN Conference of Trade and Development (UNCTD) 2019 mengungkap, fashion adalah industri paling berpolusi kedua di dunia, sepuluh persen dari emisi karbon yang memengaruhi crisis climate dihasilkan dari industri fashion.
Industri fast fashion tentunya memberi dampak buruk terhadap lingkungan bahkan manusia itu sendiri. Apa saja?

(sumber: sustainablefashionacademy.org)
1. Pergeseran Fenologi
Pernah kebayang ngga kalau limbah produksi pakaian bisa berdampak pada perubahan iklim dan musim? Sampai terjadi pergeseran fenologi, yaitu peristiwa biologis yang terjadi tiap tahun. Misalnya migrasi unggas, reproduksi fauna, hibernasi hingga mekarnya bunga di banyak spesies tanaman.
Pergeseran fenologi ini juga menyebabkan suhu di musim semi meningkat dan periode migrasi burung menjadi lebih panjang dari biasanya,
2. Menghilangnya Spesies Mikrohabitat
Tahukah kamu kalau limbah fast fashion ini sangat mencemari mikrohabitat dan memperburuk keadaan beberapa spesies?
Mikrohabitat di alam bebas itu ibaratnya adalah tempat tinggal kesukaan spesies tertentu. Jadi spesies tersebut akan sangat bergantung dengan kondisi di mikrohabitat itu tadi.
Nah, limbah pakaian itu bisa menyebabkan sebagian besar spesies mikrohabitat menjadi hilang dan musnah dari lingkungan mereka hidup. Sedih ngga sih?
3. Terhambatnya Interaksi Biotik
Ingat kan kalau biotik itu merupakan komponen makhluk hidup meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan yang ada di permukaan bumi. Nah, biotik ini akan berinteraksi dalam sebuah ekosistem untuk tumbuh dan berkembang biak.
Efek Gas Rumah Kaca tentu saja bisa menghambat keberlangsungan hidup dan repsorduksi mereka.
4. Menurunnya Populasi Hewan
Kebanyakan indistri fashion tuh juga memanfaatkan kulit binatang sebagai bahan baku. Bukan itu saja, nantinya bahan baku tersebut juga akan dicampur dengan berbagai zat kimia. Seperti ular, macan, buaya, dan banyak lagi.
5. Limbah Pewarna Tekstil yang Membahayakan
Industri fast fashion biasanya akan menggunakan pewarna tekstil yang murah dan berbahaya. Tentu saja ini dapat menyebabkan pencemaran air yang membahayakan kesehatan manusia.
Belum lagi bahan yang sering membawa dampak buruk bagi lingkungan: polyester.
Coba deh cek pakaianmu, berapa banyak yang bertuliskan polyester pada labelnya?
Kenyataannya polyester ini bahan yang paling banyak digunakan sekaligus menjadi penyumbang polusi terbesar. Manufaktur polyester sendiri menghasilkan emisi karbon sebesar 40% dari keseluruhan industri mode.
Dewi Rizki, selaku Program Director for Sustainable Governance Strategic KEMITRAAN menjelaskan kalau emisi karbon yang sangat besar dari industri fashion terjadi pada setiap tahap rantai pasokan fashion dan siklus produk. Bahkan 70% emisi karbon berasal dari kegoiatan hulu, seperti produksi dan pemrosesan bahan mentah.
Bayangkan aja seberapa banyak air dan bahan kimia yang dibutuhkan untuk pengolahan bahan polyester ini. Apalagi polyester masuk dalam non-biodegradable sehingga memnutuhukan 20-200 tahun sampai terurai.
Polyester ini dibuat dari bahan dasar plastik dan plastik terbuat dari minyak bumi. Saat dicuci, kain polyester ajan mengeluarjan mikrofiber yang dapat menambah kadar plastim di laut, karena sulit diurai, tentu saja ajan berdampak bagi makhluk hidup. Makhluk kecil seperti plankton akan mengkonsumsinya dan menjadi rantai makanan yang berujung pada manusia.
Kamu udah ngga ada di dunia ini, pakaianmu masih tetap hidup sampai dua abad lagi!
Jadi dampak fast fashion terhadap kriris iklim bisa menyangkut banyak hal mulai dari air, bahan kimia, penggundulan hutan, limbah fashion, serta mikroplastik.
Apa sih Perubahan Iklim?
Dari tadi ngomongin perubahan iklim mulu, emang gimana sih perubahan iklim itu? Terus dampaknya apa?
Oke baiklah, aku jelaskan secara sederhana dulu yah.
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Kerangka Kerja Perubahan Iklim mendefinisikan Perubahan iklim sebagai perubahan iklim yang disebabkan baik secara langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia sehingga mengubah kompoisi dari atmosfer global dan variabilitas iklim alami pada perioda waktu yang dapat diperbandingkan.
Komposisi atmosfer global yang dimaksud adalah komposisi material atmosfer bumi berupa Gas Rumah Kaca (GRK) yang di antaranya, terdiri dari Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrogen Oksida (N2O), dan sebagainya.
Aku jelaskan lewat gambar di bawah ini yah:

(sumber: geo-media.blogspot.com)
Jadi, Gas Rumah Kaca (GRK) sebenarnya memang dibutuhkan untuk mejaga suhu bumi agar tetap stabil. Namun, konsentrasi GRK yang semakin meningkat malah membuat lapisan atmosfer makin tebal.
Yah memang sih, kalau manusia mengeluarkan produk gas CO2 saat bernapas. Kendaraan bermotor juga menghasilkan emisi gas buang dari pembakarannya. Terus masalahnya apa?
Masalah mulai timbul ketika jumlah karbon yang dikeluarkan ke atmosfer lebih besar dari yang diserap bumi. Partikel-partikel karbon yang ada di atmosfer menjadi tempat pantulannya cahaya matahari.
Cahaya matahari yang masuk ke atmosfer bumi akan terperangkap, seperti jumping arround di partikel karbon tadi. Ini yang bikin bumi makin panas. Peristiwa inilah yang disebut perubahan iklim.
Dampak Perubahan Iklim yang Aku Rasakan
Sebenarnya banyak sekali dampak perubahan iklim secara global. Misalnya di Siberia yang katanya tempat paling dingin pun bisa terjadi kebakaran hutan pada 2019 lalu. Curah hujan semakin tinggi, musim kemarau berkepanjangan, peningkatan volume air akibat mencairnya es kutub, terjadinya bencana alam angin puting beliung, sampai berkurangnya sumber air.
Bagaimana dengan Indonesia?
Terdapat setidaknya 115 pulau di Indonesia yang terancam tenggelam disebabkan oleh krisis iklim dan penurunan muka tanah.
Ingatkah kamu istilah untuk musim hujan di Indonesia sekitar bulan Desember (gede-gedene sumber), Januari (Hujan Sehari-hari)? Saat ini seluruh daerah Indonesia sudah melewati puncak musim hujan Januari-Februari. Tapi kok masih ada hujan lebat dengan angin kencang?
Cuaca yang tadinya panas menyengat, beberapa saat kemudian hujan bisa tiba-tiba mengguyur. Bukan hujan biasa, namun hujan lebat kadang singkat, disertai kilat dan petir, terkadang ada hujan es, bahkan muncul angin kencang. Ini pun terjadi di daerah tempat tinggalku, Malang.
Banjir?

(sumber: dok. pribadi olahan canva)
Jangan ditanya! Bahkan menyebabkan pohon-pohon tumbang hingga kerusakan fasilitas pribadi maupun umum. Cuaca yang tak menentu adalah salah satu dampak perubahan iklim yang paling ku rasakan. Bahkan di Sekarpuro daerah rumahku bisa tiap hari banjir setiap hujan deras. Ada yang sampai airnya masuk rumah tetangga.
BMKG pun memprediksi sejumlah daerah yang akan mengalami banjir antara lain Aceh, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara.
Sampai muncul himbauan agar masyarakat tetap waspada terhadap kemungkinan bencana alam. Yah itu tadi, saat ini hujan bisa datang setiap hari di beberapa wilayah!
Tahu sendiri kan berapa besar biaya yang dikeluarkan maupun kerugian akibat banjir? Yang bakal kena dampak paling berat tetap saja kelompok termiskin.
Indonesia bisa rugi Rp 115 triliun pada 2024 kalau ngga ada aksi ketahanan iklim!
Banyangkan suatu hari, pulau kita akan tenggelam. Bagaimana anak cucu kita nanti?
Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Banyak sekali cara yang bisa kamu lakukan untuk mendukung aksi ketahanan perubahan iklim. Aku sempet ikutan ngobrol bareng IG Live mba Gita Syahrani selaku Kepala Sekretariat Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) bersama mba Chitra Subyakto, pakar fashion sekaligus founder fashion brand dari Sejauh Mata Memandang.
Mba Chitra ini sudah menerapkan responsible fashion dalam usahanya. Beliau pun memberi saran beralih dari fast fashion menuju responsible fashion.
Ada beberapa tips yang bisa kamu contek yah..

(sumber: olahan canva)
1. Responsible Fashion
Kamu harus menjadi konsumen yang cerdas dengan mengedukasi diri sebelum berbelanja. Hal ini akan memunculkan kebiasaan selektif saat akan membeli sesuatu.
Saat memilih barang, kamu harus mewaspadai asal produknya. Apakah sumbernya udah sustainable apa belum. Apakah komoditasnya baik apa ngga.
Jadi, hubungan antara pakaian dan kelestarian lingkungan serta krisis iklim tuh tergantung latar belakang produknya. Makanya, jadilah konsumen cerdas.
2. Pilih Bahan Pakaian Ramah Lingkungan
Ada beberapa tips untuk membedakan pakaian sesuai bahan yang biasa kamu gunakan. Polyester, katun, dan viscouse menjadi bahan yang paling sering digunakan. Tapi ngga semuanya ramah lingkungan kan? Indikatornya berdasarkan bukan pada bahan dasar aja, tapi dari bahan baku, proses pembuatannya, dan dampak apa yang akan ditimbulkan.
Nah, berdasarkan tampilannya kalau teksturnya stretch dan mengkilat bisa jadi berbahan polyester. Udah dijelaskan di atas kalau bahan ini ngga ramah lingkungan karena berbahan dasar serat plastik.
Kalau katun dan viscouse lebih ramah lingkungan dan bisa diolah kembali karena berasal dari alam. Katun berasal dari serat tumbuhan dan viscouse dari kayu.
3. Ngga Trendy Tapi Relate Sepanjang Waktu
Fast fashion tuh kan identik dengan perputaran pergantian fashion yang sangat cepat. Memilih dan mengenakan outfit yang tepat juga bisa membantu melestarikan alam. Kamu bisa memilih pakaian yang tak lekang oleh waktu. Misalnya jeans, model ini akan selalu relate sepanjang waktu.
4. Beli Vintage, Preloved, Barter atau Donasi
Ngga papa lho kalau kamu harus berburu baju vintage di pasar loak dengan harga miring. Ini lebih ramah lingkungan daripada kamu membeli baju baru dan hanya menambah tumpukan di lemari.
Saat ini baju preloved atau second stuff juga mudah banget didapatkan dari media sosial bahkan garage sale. Ngga usah gengsi!
Kamu pun bisa melakukan barter dengan teman-temanmu sesama pecinta fashion. Menambah teman, lebih hemat pengeluaran dan ramah lingkungan kan?
Jadi lebaran kali ini ngga perlu beli baju baru yah. Kalau masih bisa pakai baju yang ada di lemari, kenapa ngga?

(sumber: dok. pribadi olahan canva)
Kalau kamu masih punya baju menumpuk di lemari, jangan ragu buat donasikan juga. Siapa tahu di luar lebih banyak yang membutuhkan, misalnya para korban bencana alam seperti banjir dan gunung meletus kemarin.
5. Lakukan Daur Ulang

(sumber: dok. pribadi olahan canva)
Bukan sampah aja yang bisa didaur ulang. Pakaian juga bisa didaur ulang biar lebih bermanfaat. Kalau kamu punya kaos yang udah bolong, bisa dipotong bagian lengannya dan menjahit bagian bawahnya buat disulap jadi kantong belanja.
Aku, kamu, kita semua harus bisa mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) no 13 terkait Penanganan Perubahan Iklim demi target yang dicapai pada 2030 nanti.

(sumber: teamupforimpact.org)
Kamu juga bisa mampir ke laman Team Up for Impact Everyday untuk melakukan aksi-aksi sederhana #UntukmuBumiku secara serentak bersama-sama setiap hari. Bersama teman-teman yang lain mari kita mengambil langkah dan aksi nyata #TeamUpforImpact.
Let’s Team Up, Not Give Up!
Penutup

(sumber: olahan canva)
Perubahan Iklim yang kita rasakan saat ini adalah masalah kita bersama. Banyak cara yang bisa kita upayakan sebagai wujud aksi ketahanan perubahan iklim.
Saat ada yang bertanya, “Ngapain sih kampanye ramah lingkungan? Sok-sok an ngga mau beli baju baru. Padahal juga masih naik pesawat, masih makan daging, masih pakai tisu.”
Ngga papa masih naik pesawat, atau bahkan masih makan daging. Tetap suarakan hidup seimbang. Memang saat ini mau ngga mau kita hidup dan berdampingan menjadi bagian dari polusi.
Tapi kita juga harus bersuara, jangan menunggu ke mana-mana harus jalan kaki dulu. Mending melakukan sesuatu yang ngga sempurna daripada tidak memulai sama sekali.
Selamatkan Bumi hari ini demi anak cucu kita nanti. Selamat Hari Bumi 2022!
Baca Juga:
Peran Hutan dalam Upaya Mitigasi Perubahan Iklim
Estafet Mitigasi Reduksi Gas Rumah Kaca Melalui Pengolahan Sampah
Bersihkan Langit dengan Bioetanol
Referensi:
Team Up for Impact, diakses dari https://teamupforimpact.org/team-up-everyday pada tanggal 20 April 2022 pukul 11.05.
Alexander, Bianca. “Upcycle Your Style: Fab Fashion From Recycled Threads”, diakses dari https://consciouslivingtv.com/blog/style/upcycle-your-style-fab-fashion-from-recycled-threads.html pada tanggal 20 April 2022 pukul 12.31.
Maesaroh. “Baju Baru Alhamdulillah, Industri Tekstil Bergairah”, diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20220413135322-4-331379/baju-baru-alhamdulillah-industri-tekstil-bergairah pada tanggal 20 April 2022 pukul 12.08.
Ari, Ardith. “Menurutmu manakah yang lebih baik: sustainable fashion atau fast fashion?”, diakses dari https://id.quora.com/Menurutmu-manakah-yang-lebih-baik-sustainable-fashion-atau-fast-fashion pada tanggal 20 April 2022 pukul 12.46.
Kumparan Woman. “Penting, Ini 3 Bahaya Limbah Fashion untuk Lingkungan yang Wajib Kamu Tahu”, diakses dari https://kumparan.com/kumparanwoman/penting-ini-3-bahaya-limbah-fashion-untuk-lingkungan-yang-wajib-kamu-tahu-1xr976Me2fz/4 pada tanggal 20 April 2022 pukul 12.50
Oktanti Putri. “Mengenal Perubahan Iklim, Faktor dan Dampaknya”, diakses dari https://indonesiabaik.id/infografis/mengenal-perubahan-iklim-faktor-dan-dampaknya pada tanggal 20 April 2022 pukul 13.05.
Noorca. “Ketahui Limbah fesyen di Balik Tren Produksi Massal dan Cepat”, diakses dari https://www.suarasurabaya.net/senggang/2022/ketahui-fakta-limbah-fesyen-di-balik-tren-produksi-massal-dan-cepat/ pada tanggal 20 April 2022 pukul 14.15.
Syahrani, Gita. “Responsible Fashion”, diakses dari https://www.instagram.com/p/Cbj6pFGJv65/ pada tanggal 20 April 2022 pukul 13.20.
60 Komentar. Leave new
limbah pewarna ini bahaya banget ya buat bumi, pernah nonton di youtube tentang fast fashion ini, serem banget sumpah
Iya memang, makanya kita juga harus membantu mengendalikan fast fashion ini..
Begitu, ya. Untung di indonesia cuma ada 2 musim. Jika digabung dengan konsumsi fashion yang bertanggung jawab, bisa banget mengurangi sampah fashion, ya
Makanya yuk beralih ke responsible fashion hehe
Wah aku baru tahu mba soal Fast Fashion ini. Nggak nyangka ya dari bagusnya baju ada eksploitasi besar besaran di belakangnya. Jadi mempengaruhi perubahan iklim ya. Apalagi sekarang mau lebaran ya
Sejak pandemi saya mulai jarang beli baju baru, nih. Baru tahu ada fast fashion begini. Memang lebih baik bergaya hidup minimalis ya.
aku skrg udah ga tergiur lagi beli pakaian murce2 tapi bahan ga jelas. Lebih memilih bahan yang berkualitas supaya bisa digunakan lebih lama
Cakep nih tulisannya “Fast fashion” ini kali pertama aku dengar.Thanks kak sudah berbagi tips untuk pemilihan jenis pakaian yang ramah lingkungan. Berbahan katun ya kak sebaiknya dan lebih disarankan justru pakaian preloved.
Sama-sama mba Dennise, semoga infonya bermanfaat 🙂
aku ni termasuk yg bisa bertahun2 ga beli baju2 gitu, krn ya untungnya awet, dan yg penting tebel kuping. hahaha
btw tentang iklim ini ya ampun udah separah itu loh, kemarin baca igs tentang perubahan iklim, dan para ilmuwan yg demo malah dipenjara. pdhl menyuarakan fact tentang keadaan dunia 🙁
perubahan iklim ini memang harus perlu di galakkan lagi, jika tidak pastinya kebablasan, mulai dari diri sendiri yang simpel dulu misal mengelola sampah plastik,
Ngeri bgt ya akibat fast fashion ini. Kebayang gunungan sampah kain itu bisa merusak lingkungan. Sy jg suka bingung sebenarnya klo sampah kain diapain. Diolah paling jd kain, kerajinan, didonasikan utk yg layak pakai, klo udah gabisa dipake bgt baru dibuang sama ngerem aja utk beli baju baru
Inspiratif artikelnya…setuju, mendingan mulia sesuatu yang enggak sempurna daripada hanya diam saja.
Saya untuk urusan baju makin ke sini makin mikir belinya. Pilih yang everlasting desainnya jadi bisa dipakai hingga nanti atau di mix&match sama outfit lainnya. Atau pilih barter sama kakak-kakak saya kalau bosan pakai bajunya. Bli preloved (dulu waktu tinggal di Amerika saya sebagian besar baju beli preloved) juga pilih bahan yang ramah lingkungan
Nah iya kalau di sini kadang malu pake PL yah, padahal ini bisa ngebantu banget menekan laju fast fashion. Aku juga suka barter ama adekku. Pakai baju2 yang relate sepanjang jaman kaya pake jeans gitu.
Waduh, di jaman sekarang ini masih ada kerja paksa mbak? untuk industri tekstil fast fashion ini?
Ngeri banget ya.
Dan ternyata dampaknya industri fast fashion ini buruk juga buat alam ya.
Lebaran ini, kami nggak ada rencana beli baju baru. Pakai baju-baju lama saja, masih bagus dan layak pakai
Aku anak bungsu, seringnya dapat lungsuran baju dari kakak-kakak, aku seneng-seneng aja, soalnya bajunya masih bagus, dan jadi hemat yaa
Wkwkwkw aku anak pertama sukanya nglungsurin buat adek2ku wkwkwk
Ternyata efeknya besar banget yah Fast Fashion ini
Sekarang kita harus lebih peka dan teliti lagi dalam memilih pakaian yah, kalo bisa mah preloved aja deh yang penting masih bisa dipake yah. Dan milih model dan warna baju emang harus timeless yah biar bisa kepake terus nih
Nah bener banget mba, kadang kan orang gengsi yah pake PL gitu padahal mah ngga papa buat menekan laju fast fashion. Pake celana jeans juga relate sepanjang waktu hehe
Aku dah lakukan tips2 di atas dan rasanya baju2ku juga long lasting, ga terlalu suka yang model2 trend yang hanya sesaat.
Semoga saja pilihan ini bisa berkontribusi buat lingkukan dan bumi kita tercinta.
Kalau lihat e-commerce, rasanya suka pengen belanja baju melulu. Karena selalu ada yang menarik perhatian. Tapi, alhamdulillah langsung bisa ngerem karena gak mau bikin lemari terlalu penuh. Apalagi setelah tau ‘sisi gelap’ dan efek dari fast fashion. Semakin berpikir deh kalau mau gampangin beli baju baru.
Udah lama sih pengen punya kebiasaan gak beli baju baru saat Lebaran..tapi akunya gak beli eh ada aja yang ngasi baju baru hehe.. Gpp lah tapi setidaknya aku sendiri memang udah jarang beli baju..semoga bisa mengurangi dampak perubahan iklim kebiasaan jarang beli baju ini ya
Aku relate banget ama bahasan ini, kebetulan kota ku ini banyak banget industri tekstil. Persis seperti yang ada di artikel ini masalah limbah dan upah kerja tenaga kerja di pabrik tekstil tuh udah kayak berita harian.
Tuh kan, kalau ngga dari kita yang aksi, terus siapa lagi?
Fast Fashion tuh emang PR. Ada juga pakaian dan lainnya yang terbuat dari hewan juga. Jadi berpengaruh deh sama bumi. Aku sendiri dari dulu berusaha untuk beli baju kalau butuh. Lebaran gak ada baju baru ya gak papa
Ngeri banget sih ini sama fast fashion ya karena tanpa kita sadari tuh banyak sekali efeknya terhadap lingkungan. Semenjak mengenal gaya hidup minimalis nih aku jadi mengurangi sekali untuk membeli baju yang sedang trend, kalau dulu mah gak boleh ketinggalan trend
Kehidupan ini masih terus berlanjut. Demi anak cucu kita kelak maka kita harus menjaga bumi ini agar tetap sehat bebas dari polusi atau pencemaran akibat ulah kita sendiri. Memang sebenarnya perubahan iklim yang terjadi akhir2 ini salah satunya karena ulah kita sendiri. Kalau bukan kita yang sadar diri lalu siapa lagi. Dan semua ini berawal dari hal2 kecil. Mari kita selamatkan bumi ini.
Aku lebih ke beli yang diperlukan aja dan dipake berkali2 sampe rusak. Termasuk anak-anak juga
Semoga jadi salah satu ikhtiar biar bumi ttp indah
Baru tahu aku dengan istilah Fast Fashion ini. Ngeri juga ya angka yang dihasilkan dari fast fashion ini. Aku kayaknya gak masuk ke pengguna fast fashion. Soalnya jarang juga aku beli baju. Paling yang rutin ya cuma saat lebaran. Seringnya beli preloved juga. Semoga orang-orang bisa beralih juga nih dari fast fashion ini ya, demi bumi yang lebih baik.
iya nih perkara fashion dan rutinitas beli baju baru ternyata jadi persoalan baru buat bumi dan perubahan iklim yaa. Aku pelan-pelan juga udah mengurangi beli-beli barang2 fast fashion, beli pun, selalu pikir-pikir dulu karena kebutuhan
Aku belajar tentang slow fashion dari Marie Kondo. Waktu itu ngambil ilmu bebers dia, sekarang baju-baju yang di lemari adalah yang memang aku pakai. Mau beli pun pasti mikir berkali-kali, butuh enggak, harus enggak. Terus enggak terlalu harus ngikutin fashion kekinian juga
Wah iya, sekarang ini makin kerasa ya perubahan iklim ini
Harus ada upaya yang dilakukan
Salah satunya ya g gampang beli baju
Wah musti kasih tau doi biar ga keseringan beli fast fasion. Dampaknyaa ngerii, bisa ngerusak alam juga ternyata
Alhamdulillah aku hampir nggak pernah beli baju dan mengikuti trend fast fashion. Baju yang dipake itu-itu saja. It’s okay yang penting masih bagus dan bersih.
Sudah hampir 10 tahun ini, saya tidak mengkhususkan diri membeli baju lebaran, Mbak. Lebaran pakai baju yang ada saja. Kemudian beli baju juga sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Makanya, saya kadang berpikir, miris juga, Indonesia ini tempat negara lain membuang limbah pakaian. Di sini malah dijual lagi, padahal itu sebenarnya sampah di negara lain.
Bener nihh fast fashion ini yang paling kentara, bayangin aja sebulan ada berapa orang yang belanja baju baru meskipun bukan lebaran yah. apalagi lebaran kayak gini, ngga kebayang limbahnya nanti sebanyak apa.
Aku tim yang jarang beli baju sih. Kalau ada keinginan beli baju datang, yang aku lakukan adalah membuka lemari dan menatap lekat-lekat apakah ada baju yang ingin kusingkirkan… kalau nggak ada, ya berarti nggak usah beli. Karena prinsipnya ketika ada baju baru masuk, maka harus ada baju lama yang keluar.
Udah beberapa tahun ini aq udah mulai peduli dengan lingkungan dengan mengurangi sampah termasuk sampah kain. Jadi sekarang lebih milih me mix and match yang ada di lemari aja, kalopun mau beli juga dalam setahun cuma beberapa kali
Dari limbah pakaian alias fashion ini penyumbang besar dampak perubahan iklim. Harus berubah yuk dengan sustainable
Baru tahu ternyata efek dari fast fashion ini ngeri ngeri sedap ya mbak. Mau tidak mau juga menjadi penyumbang dari perubahan iklim.
Aq baru tau, bahan baju aja hrs kita perhatikan ya..termasuk untuk tdk memilihi bahan poliyster, ok bermanfaat banget artikelnya
Ya Allah, aku baru tahu semengrikannya industri fast fashion. Saya pikir ya fine fine saja, nggak ada ekploitasi. MasyaAllah. Jadi ngeri sering lihat di SHopee, ibu ibu pada rebutan beli baju.
Beuuuh apalagi mau ramadhan begini, udah kaya ga ada space buat jalan kalau ke pasar
Wah, bener ya.. Apalagi kl ngikuti mode, baju cepet banget berubah. Jd makainya cuma sebentar karena takut dibilang ketinggalan mode. Padahal dibalik gemerlapnya fashion tersimpan bahaya limbah yang mengerikan ya. Makanya bener sih pesen ortuku dulu. kalau kita beli baju tu karena kebutuhan. Bukan karena ngikuti mode.
Banyak hal yang terlibat ketika kita sudah berbicara mengenai skala produksi besar-besaran yaa..
Subhanallahu~
Semoga ini menjadi pengingat kita bahwa memiliki barang terutama baju kudu bijak. Efek luasnya adalah climate crisis seperti yang kita rasakan saat ini.
Limbah tekstil or dari industri fashion memang ternyata patut dipikirkan juga yaa solusinya, nice tips mba inspiring deh idenya nih bisa coba mulai dipraktekkan nih mulai Lebaran kali ini
Sedih banget kalau banyak sampah fashion yang justru berdampak buruk untuk lingkungan. Btwe aku juga kadang suka cari trifting sih mbak, baju2 lama kadang kalau bosan bisa aku jait ulang biar jadi look baru lagi.
Bener, sebisa mungkin recycle atau rombak ulang yaa
konon katanya dulu mengenali musim itu mudah, bulan yang berakhiran -ber (September – Desember) itu adalah musim hujan, selebihnya musim kemarau atau peralihan, lah sekarang rasanya hampir tiap bulan ada hujan dengan intesitas tinggi.
hikss, fast fashion ini memang marak, tapi bukan berarti gak bisa dihindari ya, semoga kita semua bisa bijak sebelum membeli, cek dulu bahannya tidak hanya mengedepankan model dan asas suka aja 🙁
Beneerr. Aku juga ngingetnya ber ber tuh musim hujan kan..
Sekarang aja bulan April, sore ini aku lagi ngetik komen ini juga pas hujan. Bisa ditekan kok laju fast fashion ini..
Juara nih tulisannya. Keren Mbak, dirimu mengangkat tentang tema fashion dan hal lain di balik itu. Nggak nyangka ya, kebiasaan kita dalam berpakaian bisa jadi alasan apakah kita menyumbang penyebab kerusakan lingkungan sampai perubahan iklim. Dan ini kayaknya kebiasaan yang agak susah juga dihilangkan dari kebanyakan orang. Karena terkait gengsi.
Nah iya, sekarang jadi bisa mikir seribu kali kalau mau beli baju baru kan huhu.
Selain dampak dibaliknya, juga ada sisi gelap eksploitasi di dalamnya..
Bener juga ya fast fashion jadi penyumbang terjadinya perubahan iklim. Bisa dari limbah perusahaan yang mencemari air, tanah dll…Wuihh ngeri ya mba…
wah keren nih, akupun sekaran mikir ribuan kali kalau mau beli baju huhu.. kalau gak butuh-butuh amat kayanya mending daur ulang baju yang masih layak aja ya
Waah aku baru tau kalau katun dan viscouse lebih ramah lingkungan daripada poliester. Ternyata karena tergantung dari bahan dasar kainnya ya mbak
Samaa teehh.. ini juga dapet dari webinar yang itu wkwkwk
Astaga aq baru tahu kalau ternyata bahan polyester ini berbahaya bagi iklim, pdhl klu sering beli online pakaian sring mlih pakean berbahan polyester, noted nih makasih infonya kak
Aku memilih habiskan pakaian yang ada, dalam artian habiskan sampe ueleeeekkk baru beli lagi, haha. Berlaku juga buat tas dan sepatu… soalnya suka bingung juga kalau punya sesuatu kebanyakan, hehe.
Sebagai anak dalboan, apakah tindakanku sudah membantu mengurangi limbah fast fashion? Hal2 kayak gini itu macem bom waktu, gada yang sadar kapan meledak. Yuk berbenah, demi Bumi
Wkwkwkwkwkwk karlospride juga ada dalboan ya kak? Kirain malkot doang! Semangat yuk