Bingung juga nih mulai dari mana nulisnya. Dengan banyaknya pro kontra tentang fenomena childfree dalam berbagai sudut pandang. Tapi jujurly, saya jadi pingin nulis juga. Susah bener sih ya ‘nahan’ untuk tidak buka suara. Hehe.

Fenomena Childfree Dipandang dari Sisi Qadha dan Ikhtiar
Tiba-tiba berkelebat kembali, masa-masa saya sebelum menikah dan ingin punya anak banyak. Entah kelak dengan siapa jodoh saya, rasanya saya memang menginginkan punya anak lebih dari satu. Tapi saya juga takut, apakah saya mampu? Dan apakah Gusti Allah akan memberi amanah kepada saya?
Ya kali, kita bisa aja meminta apapun, berdoa memohon apa saja, tapi semua juga atas kehendak Gusti Allah kan? Kalau Allah ngga ngasih, kita bisa apa?
Berangkat dari sini, saya sudah berkali-kali menata hati, dan mindset.
Setelah menikah saya pun langsung ingin punya anak. Bahkan tujuan saya menikah sebenarnya supaya dimudahkan mendapat anak. Apakah karena saya suka anak kecil? Ngga juga sih. Kenapa yah? Hehe.
Entahlah. Apa hanya takut ditanya kanan kiri, sudah isi apa belum? Ngga tahu juga.
Setelah menikah pun ternyata belum langsung dikasih. Itu aja udah sedih banget, karena harus berjumpa dengan tamu bulanan tiap bulan. Udah mikir yang macam-macam dan desperate banget deh. Lebay? Iyah!
Terus kalau ada seseorang dengan kampanye childfree, gimana?
Table of Contents
Pengertian dan Sejarah Childfree
Dilansir dari Wikipedia, Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Istilah childfree dibuat dalam bahasa Inggris di akhir abad ke 20.
St. Augustine sebagai penganut kepercayaan Maniisme, percaya bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak bermoral, dan dengan demikian (sesuai sistem kepercayaannya) menjebak jiwa-jiwa dalam tubuh yang tidak kekal. Untuk mencegahnya, mereka mempraktikkan penggunaan kontrasepsi dengan sistem kalender.

sumber: amazon.com
Dalam buku No Kids: 40 Reasons For Not Having Children, Corinne Maier menulis banyak sekali alasan bagi seseorang yang memilih dan memutuskan untuk childfree. Mulai dari kurangnya finasial, masalah kesehatan, hingga kepedulian akan dampak negatif pada lingkungan yang bisa mengancam seperti over population dan kelangkaan sumber daya alam.
Baca Juga: Review Buku: ORIGIN by Dan Brown
Sebenernya Corinne Maier ini dari tahun ke tahun menyuarakan tentang over population, kelangkaan sumber daya alam, dan menyerukan feminisme. Salah satunya menyetarakan gender antara perempuan dan laki-laki. Kalau laki-laki bisa tidak melahirkan, berarti perempuan juga boleh tidak melahirkan.
Baca Juga: Melawan Infeksi Toxoplasma Selama Kehamilan
Tanpa Anak dan Bahagia, Mengapa Tidak?
Saya tuh udah lama follow mba Gitasav ini. Bahkan mengikuti blognya, mengikuti youtubenya, dan instagramnya. Bahkan jadi follower sebelum doi menikah dan emang udah lama tinggal di Jerman. Emang sih orangnya enakeun, bahasanya santai, pemikirannya gamblang dan anak muda bingits. Pengetahuannya banyak, open minded banget, wawasannya luas, yang asyik diajak ngobrol gitu. Yah meskipun ada beberapa statement doi yang agak nyeleneh. Yah ngga papa dong, orang kan bebas mau mengutarakan pendapat mereka. Kita mah ngga usah sewot juga, bebas aja berpendapat mah.
Sampai akhirnya mencuatlah keputusan doi yang lagi ramai diperbincangkan di jagat Indonesia Raya kita tercinta.
“Di kamus hidup gue, “tiba-tiba dikasih” is very unlikely.
IMO lebih gampang ga punya anak dari pada punya anak.
Karena banyak banget hal preventif yang bisa dilakukan untuk tidak punya,“
Gitu sih katanya sesembak saat menjawab pertanyaan netijul. Buset deh, sombong ngga?
Hiyaa langsung deh gempar nih, seperti menyiram bensin pada api yang membara. Haseeek.
Vanaass gan! Bakar udah bakar!
Yah, si embak pan tinggal di Jerman, mungkin emang di luar negeri udah biasa yah. Tapi ini Indonesia bung, apa-apa bisa gede di sini mah. Kadang hal sepele aja bisa dipanjangin ama emak-emak hehe.
Jadi emang tuh sekarang semakin banyak perempuan Indonesia yang berani menyuarakan keinginannya untuk tidak memiliki anak karena keputusan pribadi. Beragam alasan yang melatarbelakangi keputusan ini. Namun pada akhirnya, memang bukan anaklah satu-satunya bagian penting untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Victoria Tunggono, novelis dan penulis buku “Childfree and Happy”, mengatakan bahwa fenomena perempuan tidak ingin mempunyai anak bukanlah hal baru. Selama ini, sebenarnya sudah banyak kaum perempuan yang berkeinginan tidak memiliki keturunan. Tapi bagaimanapun juga, budaya ketimuran di Indonesia menjadi opsi yang sulit diambil karena kuatnya budaya patriarki dan stigma sosial bahwa kaum perempuan sudah kodratnya menikah dan harus memberikan keturunan.
Baca Juga: Benarkah Depresi Bukan Kurang Iman?
Alasan Childfree, Apa Aja?
“Alasan childfree itu banyak. Ada karena keuangan, keluarga, genetika atau, kesehatan dan lain-lain. Saya sendiri, secara psikologis, tidak sanggup menjadi orang tua. Saya merasa tidak bisa menjadi orangtua sehebat ibu saya. Saya tidak ditakdirkan untuk menjadi ibu, jadi saya putuskan untuk childfree,” jelas Victoria.
Baca Juga: Berdamai dengan Luka Pengasuhan Bersama Riliv
Ada pula pengamatan bahwa banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak karena pengalaman buruk mereka saat masa kecil terkait hubungan dengan orang tua. Ini masuknya udah ke inner child ya?

Fenomena childfree di Indonesia
Dikutip dari Media Indonesia, melihat data world bank tren maka angka kelahiran di Indonesia terus mengalami penurunan. Coba lihat deh, pada tahun 2019 itu angka kelahiran kasar per 1000 penduduk di Indonesia sekitar 17,75. Data ini sesuai dengan hasil sensus penduduk oleh BPS di mana terjadi penurunan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk pada 2010-2020 menunjukkan angka 1,25% menurun dari periode sebelumnya pada 2000-2010 menunjukkan angka 1,49%.
Berdasarkan data tersebut memang ada penurunan kelahiran di indonesia. Ditambah lagi tuh sama fenomena childfree yang didukung dengan masalah psikologis, ekonomi, dan faktor lingkungan. Bahkan ada alasan yang menyetujui bahwa ada ketakutan melahirkan anak di dunia yang semakin keras.
Berikut ini ada persentase penganut childfree dari data penelitian:

Persentase penganut childfree (sumber: Kulzoom KUSAPA)
Tampak bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang (S1/S2) menempati posisi 28%. Hal ini menunjukkan perempuan yang sibuk dengan ilmu dunia malah meninggalkan kodratnya sebagai perempuan. Semakin tinggi pendidikan semakin memilih untuk childfree. Sehingga kesibukan di luar rumah akan semakin mengurangi kesibukan ranah domsetik.
Kalau menurut Prof. Bagong, dosen yang mengampu mata kuliah Sosiologi Anak, alasan yang melatar belakangi memilih childfree memang salah satunya adalah meniti karir. Dalam perjalanan meraih kesuksesan karir, ngga sedikit perempuan menganggap bahwa kehadiran anak memang bisa menjadi sebuah rintangan tersendiri.
Apakah Childfree sesuai Islam?
Sabtu kemarin, tanggal 28 Agustus 2021 saya mengikuti kajian KuSaPa (Kumpul Sabtu Pagi). Tema kali ini kebetulan membahas tentang Childfree Antara Ikhtiar dan Qadha, bersama Yuliana Diah Pristanti, S. Kom, MT.
Syekh Syauqi Ibrahim dari Dar Ifta Mesir mengeluarkan fatwa nomor 4713, 5 Februari 2019 mengatakan sebuah fatwa yang di antara poinnya adalah:
- Dalam Islam tidak ada keterangan al Qur’an atau hadits yang mewajibkan pasangan suami istri untuk mempunyai anak.

sumber: Kulzoom Kusapa
- Tidak ada nash dalam Al-Qur’an yang melarang atau mencegah kelahiran anak.

sumber: Kulzoom Kusapa
- Ketidakinginan mempunyai anak ini, menurut Syekh Ibrahim Alam, dianalogikan dengan kasus azl. Azl ini terjadi di era Nabi Muhammad dan para sahabat.

sumber: Kulzoom Kusapa
Sedangkan Imam Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin terkait pentingnya anak, hal ini menjadi hujjah sebagian ulama yang menyatakan childfree dalam Islam merupakan sesuatu yang terlarang.

sumber: Kulzoom Kusapa
Pada usaha memiliki keturunan merupakan ibadah dalam empat sisi:
Pertama, menggapai rida Allah dengan memiliki keturunan.
Kedua, mencari cinta kasih Nabi Muhammad sebabmemperbanyak umatnya yang dibanggakan.
Ketiga, berharap mendapatkan berkah dari doa anak salihah setelah orang tuanya meninggal.
Keempat, menuntut syafaat dari anak sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.
Keutamaan banyak anak
“Menikahlah kalian dengan yang penyayang dan punya banyak keturunan. Karena aku begitu bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.”
HR. Abu Daud no. 2050
Baca Juga: Peran Ibunda Imam Syafi’i dalam Pendidikan Anak
Childfree Antara Qadha’ dan Ikhtiar
Ada wilayah dalam setiap pilihan dan kondisi. Begitu juga qadha’.
Qadha adalah ketentuan Allah pada makhluk, dan makhluk tersebut tidak bia mengubahnya sama sekali. Masalah qadha’ ini tidak akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah di padang Mahsyar kelar (tidak dihisab). Dan juga tidak dapat diubah dan telah dipertanggungkan sejak zaman azali.
Qadha’ di fenomena childfree ini misalnya dilihat dari segi kesehatan/kondisi dari istri/suami:
Atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha mengetahui, Maha Kuasa.
(QS Asy-Syuara’:50)
Memang ada kondisi pada sang istri misalnya, yang membahayakan kesehatan bila hamil atau melahirkan. Jadi qadha’ ini tidak ada kemauan dari manusianya sendiri. Malah harus rida dengan ketetapan Allah. Maka harus dilakukan ikhtiar dengan usaha penyembuhan.
Seperti temen saya juga ada, setelah melahirkan anaknya yang pertama, dokter memberi vonis dia ngga boleh melahirkan lagi karena ada faktor yang akan membahayakan kesehatan ibu dan bayinya. Ada faktor internal tertentu. Jadi dia menggunakan KB IUD untuk mencegah kehamilan. Nah beda kasus kan, ini bukan karena dia memilih childfree tapi mencegah atau mengurangi, bukan meniadakan sama sekali.
Niat dan ikhtiar dari awal untuk tidak mau ada anak (menutup kemungkinan untuk ada anak) adalah ikhtiar yang justru diharamkan dalam Islam (misal dengan vasektomi/tubektomi bahkan aborsi).
Bentuk ikhtiar sepeti ini, yang tidak sesuai dengan hukum syara’ yang akan dihisab oleh Allah.
Bagaimana dengan Dampak Negatif Childfree?
Psikologis
Ustadz Harry Santosa sebagai penggagas Fitrah Based Education (Pendidikan berbasis Fitrah) menjelaskan setidaknya ada delapan aspek fitrah yang perlu dirawat dan dikembangkan dalam diri seorang anak. Fitrah tersebut antara lain fitrah keimanan, fitrah belajar dan bernalar, fitrah bakat, fitrah seksualitas, fitrah individualitas dan sosialitas, fitrah bahasa dan estetika, fitrah perkembangan dan fitrah jasmani. Maka pada fenomena childfree ini yang menjadi titik berat adalah fitrah keimanan dan seksualitas seseorang.
Seorang perempuan itu fitrahnya adalah memiliki sisi kelembutan dan sayang (lebih banyak) pada anak-anak. Fitrah keimanan yang tidak terawat dapat menyebabkan sang anak lupa akan perannya sebagai hamba.
Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau isteri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?
(QS An-Nahl: 72)
Dapat dilihat kalau tujuan pernikahan dalam Islam salah satunya adalah untuk memperoleh keturunan. Justru saat kita meragukan rezeki setiap anak yang telah dituliskan, dan memilih childfree karena segi ekonomi, di situ kita sudah tidak percaya kepada Allah. Kita bilang, “mau makan apa besok? Bisakah kita makan?” itu saja menunjukkan kita tidak percaya jaminan rezeki yang diberikan Allah. Berarti harus dipertanyakan keimanan kita. Kalau kita tidak punya rezeki lagi, kalau jatah rezeki kita di dunia sudah habis, pasti kita sudah tidak ada di dunia ini.
Jadi fitrah yang tercederai ini akan berdampak pada psikologis seseorang.
Kesehatan
Kehamilan memang memberikan momen indah yang tak bisa dilupakan. Selain itu juga memberi pengaruh baik bagi kesehatan perempuan. Dilansir dari Firstcry Parenting, salah satu penyebab gangguan kesehatan jantung adalah kurangnya kadar estrogen. Sedangkan kadar estrogen ini akan meningkat saat hamil. Kemudian proses menyusui juga dapat mengontrol tekanan darah dan diabetes, dan membuat kesehatan jantung lebih baik. Tentu saja masih banyak pengaruh kesehatan baik lainnya saat hamil, melahirkan dan menyusui.
Masyarakat
Kalau di masyakat timur yah di Indonesia begini, memilih childfree itu agaknya masih tabu yah. Gimana sik, di sini baru nikah aja udah dibrudul pertanyaan, “udah isi belom?” heheh. Apalagi kalau ada aksi nyeleneh memutuskan childfree. Apa itu childfree?
Kalau saya pribadi, fine fine aja kalau ada seseorang yang memilih childfree. Saya tuh demokratis lho. Silakan aja karena setiap orang punya pilihan dan konsekuensi masing-masing atas pilihan mereka. Eh tapi ada beberapa kasus di mana saya menyatakan big No No (seperti kasus pelecehan seksual Saipul Jamil tuh. Ihhh Jijique). Udah gede ini, udah bisa milih dan ngga asal milih ye kan. Tapi kalau pilihan yang mereka pilih dielu-elukan seolah-olah paling benar, itu udah ngga beres dan saya ngga setuju.
Seperti kata ustadz Aab El Karim,
“Kalau ada orang yang memilih childfree lalu dia ngerasain pilihannya keren, superior, lantas (kemudian) ngotot disebarkan kemana-mana di kultur yang berbeda. Ya ini bikin rusuh namanya.
Apalagi kalau gagasan childfreenya dijadikan jalan menyebarkan feminisme, gender, lalu mendeskripsikan terlalu over kondisi masyarakat bahwa semua wanita di Indonesia itu terjajah karena punya anak. Yang paling direpotkan dan terpercaya adalah seorang Ibu. Atau konsep istri dalam Islam itu bermasalah, terlalu patriarki. Ini ngajak perang namanya.
Karena kalau model seperti ini akan berhadapan dengan keyakinan Muslim yang merindukan anak salih berjariyah pahala, yang akan meneruskan kebaikan orangtua, bisa menjaga dan memberi kehangatan di hari tua, yang mau ikut tuntunan Rasulullah dalam membina keluarga, mendidik anak, sampai membagi waris. Ini bagi kami seorang Muslim pahala semua.
Ya menurut gue childfree itu pilihan, tapi ngga sesuai sunnah.”
Di situlah saya merindukan peran saya sebagai seorang ibu, yang bisa sukses mendidik anak-anak menjadi penerus generasi Rabbani yang sukses. Anak-anak yang mendoakan orang tuanya kelak. Karena hanya doa anak salih saja yang bisa menjadi ladang jariyah. Saya ingin menjadi bagian umat yang dicintai Rasul karena memperbanyak keturunan yang bermanfaat. Maha Baik Allah, sungguh sangat baik karena telah mempercayai saya dengan amanah tiga mutiara.
Begitu juga untuk teman-teman yang belum mendapat amanah. Allah memberikan yang kita minta dan tidak kita minta. Sebagai adab pada Sang Maha Pemberi, adalah menerimanya dengan rida segala ketetapan yang telah diberikan. Allah tidak perlu bertanya apakah kita siap diberi atau tidak. Allah juga tidak perlu menjelaskannya, itu semata-mata adalah kehendakNya. Bukankah sayyidah Aisyah ra., tidak berkurang kemuliaannya walaupun tidak memiliki anak?
Maka, nikmat mana yang akan engkau dustakan?
Malang, 09 September 2021
25 Komentar. Leave new
Soal fenomena childfree ini, aku juga ikut pro-kontra sih. Di satu sisi kalau ada kesepakatan pasutri dan mereka enjoy, tidak gembar-gembor, tidak merugikan orang, yaudah lakukan saja. Urusan sama Tuhan, jadi masalah mereka. Tapi masalahnya si pro-childfree sekarang ini kok malah berkesan superior dan memandang kecil mereka yang memilih punya anak, hehe. Apalagi kalau yang Muslim, tentu punya alasan kuat kenapa sangat ingin mendamba anaknya. Harusnya semua saling menghormati sih, yang beragama ya silahkan mengikuti ajaranNya. Begitu pula makhluk-makhluk sosial masa kini dengan prinsip ajaib mereka.
Iya bener sih Rai, jadi ikutan gemes. Mbok ya udah diem aja ngga usah seolah-olah pilihan mereka paling benar. Karena ada juga hati lain yang harus dijaga. Kan kasihan yang sudah berulang kali mencoba tapi belum mendapat amanah.
Ulasan yang sangat menarik…
Saya termasuk yang menghormati jika ada pasangan yang memutuskan untuk childfree.
Saya pernah tinggal 2 tahun di Amerika ikut kuliah suami dengan 1 balita dan 1 bayi. Yang mana hampir semua temannya kalau enggak masih single, sudah married tapi no child. Tapi gatau apakah mereka termasuk childfree atau memang belum ingin punya anak atau karena masih lanjut kuliah.
Oia, yang saya kurang berkenan saat si Gitsav bilang ada banyak tindakan preventif biar ga kebobolan. Sombong bener ini bagi saya. Dia lupa Kuasa Allah di atas segalanya.
Kakak saya anak bungsunya sudah SD, ga niat nambah pakai kontrasepsi IUD. Rutin periksa, dll eh …ada tanda-tanda hamil ternyata dah kebobolan jalan 4 bulan, IUD masih ada tapi hamil!!
Sementara kakak yang lain sudah belasan tahun nikah, usaha banyak biar punya anak, Qadarullah sampai kini belum ada keturunan.
Nah itu dia, aku mikirnya ya emang kaya sombong banget bisa mendahului ketetapan Allah. Gemes kan. Eh tapi mba temenku juga ada yang udah pake IUD tetep kebobolan hihi. Emang sih ya kalau di luar negeri kebanyakan single atau masih belum ada anak. Makasih ya sharingnya mba Dian.
Ada yang punya alasan kuat untuk memutuskan childfree, misalnya karena alasan kesehatan. Namun ada juga yang sekedar ikut-ikutan tren, biar dibilang kekinian dan keren.
Namun yang jelas, childfree itu menyalahi sunatulloh. Yang penting kita berdoa saja yang terbaik untuk keluarga dan anak keturunan kita.
Iya bener bang. Kalau diamanahi ya harus bisa bertanggung jawab. Berdoa yang terbaik agar bisa menjadi anak slaih dan bermanfaat.
Childfree…fenomena menarik yg selalu dipertentangkan, dilema memang ketika tidak ada kendala utk memiliki keturunan namun memutuskan utk tidak mau memilikinya..sementara ada yg berjuang mati2an utk mendapatkan keturunan ..
Tinggal kita memutuskan utk bijak memilih apakah mengikuti chidfree atau tidak…
Nah makanya, banyak hati yang harus dijaga. Di saat yang lain berjuang mendapatkan, yang lain berjuang tidak menginginkan.
Sering denger childfree akhir2 ini. Tq udah di bahas. Pro kontra biasa ya, tp sbg umat Islam, kita ikuti ajaran agama saja hehe
Siap kak Sani 🙂
Menurut saya sih gapapa kalau pengen childfree. Saya sendiri sebenarnya juga sejak muda sangat ingin berkelana sebagai relawan sampai tua dan ga mau terikat keluarga.
Tapi akhirnya harus berkeluarga demi orangtua juga bahagia aja. Sesekali jika ada bencana alam akan berpikir seandainya bisa bantu ke sana tanpa printilan.
Menurut saya juga, “Balikin ke orang masing-masing Jangan pakai cermin sendiri untuk melihat orang lain.”
Iya mba, kok sama sih. Saya dulu juga pengen banget berkelana dan jadi relawan ke seluruh pelosok negeri. Pengen jadi relawan juga di Indonesia Mengajar dan bersatu mewujudkan cita-cita: mencerdaskan kehidupan bangsa!
Semua tergantung pribadi masing-masing ya mba. Cuma saya pribadi ingin banget punya anak namun apa daya belum dibeli oleh Allah SWT.
Insya Allah semoga dimudahkan ya mab. Semangat!
Keren banget seminarnya. Banyak ilmu. Tokoh-tokoh yang memang lama berkecimpung di dunia parenting. Tema yang sedang hangat. Mudah-mudahan semakin tercerahkan dengan tema chlidfree ini.
Setuju pak! Semoga artikel ini bermanfaat.
beberapa bulan terakhir, sebelum kasus childfree ini mencuat, saya justru dipertemukan oleh teman dari salah satu peserta kegiatan yang juga saya ikuti dan dia (juga pasangannya) memutuskan untuk tidak memiliki anak. ya kalau sudah kesepakatan antar pasangan ya baiknya kita hargai ya, masa iya kita harus ngerecokin sesuatu yang bukan ranah kita meskipun saya pribadi memiliki prinsip yang berbeda.
Heem mba, emang harus keputusan bersama bukan condong ke salah satu pasangan saja. Dan memang sudah pasti mereka mengambil keputusan ini melalui berbagai pertimbangan. Jadi emang bukan ranah kita, apalagi orang lain hehe.
Menurut saya apapun pilihan orang pasti ada alasannya hanya saja karena kita besar dilingkungan yng kental budaya timur jadi kalau ada life value seseorang yg berbeda dari kebanyakan terasa aneh dan wajib didiskusikan…pdahal itu mah biasa saja..selama orang tsb tdk merugikan org lain menurut saya sih.. hehehe
Iya mba, pasti mereka juga sudah diskusi dengan matang mengapa mengambil pilihan seperti itu.
Kalau alasan memutuskan childfree hanya ikut-ikutan orang lain atau trend sih saya rasa itu menyalahi aturan agama. Tp klo disebabkan karena kesehatan sih tidak masalah. masalah anak, sebaiknya serahkan semua urusannya pd yg kuasa. Pasti ada rencana yg terbaik
Setujuuuu!
yang tidak boleh itu menjastifikasi orang lain dengan keputusan mereka, apakah mereka ingin punya anak atau tidak punya anak, tentu ada alasan kuat yang mendasari keputusan pasangan… nggak boleh memaksakan pendapat kita ke orang lain, padahal kita nggak ngeri kondisi mereka…
Opini yang bagus. Maaf, saya termasuk yang sangat pro childfree karena berbagai macam hal, termasuk psikiologi dan karena saya sudah have no womb. Saya menghormati mereka yang kontra. Karena saya demokratis. Saya tidak generalisasi juga, meskipun kenyataannya sexual abusement terhadap anak semakin meningkat. Pelakunya bahkan orang tua mereka sendiri. Atau kasus-kasus, anak bunuh orang tua. Once more, ini bukan generalisasi. Karena, masih banyak juga orang tua yang peduli dan cinta dengan anak-anaknya. Memang ada yang demi kerjaan sampai neglect anak-anaknya. Kalau childfree lalu ditampar agama, he he he lebih baik pilih jadi ateis. Apa lalu bedanya dengan mereka yang menjudge? Sama saja kan? Bukankah di agama juga mengajarkan untuk tidak menghakimi orang lain plus keputusannya? Saya juga akan tampar mereka dengan pertanyaan, memang mereka sudah berhasil untuk peduli dan cinta dengan anak-anak mereka? Memang mereka rela korbankan apapun demi anak? Plus, memang mereka juga mau membantu kita saat kita bermasalah dengan anak-anak kita? Maaf, saya tahu opini yang Anda tulis tidak menghakimi siapapun. Maaf, saya bawa agama. Di agama saya, juga kontra dengan childfree. Tapi, sayang sekali, agama saya, juga tidak berhasil selamatkan anak-anak korban pelecehan seksual atau kekerasan lainnya. Masalah dinyinyirin, well mereka tidak memberi makan kita kok. So, mengapa kita harus peduli? Saya repeat, saya menghormati mereka yang kontra dengan childfree. Plus, saya tidak memaksakan kehendak saya kepada yang lain. Saya selalu kagum dengan para ibu apapun pendidikan mereka, S1 bahkan S3. But, maaf, saya tidak pernah ada cita-cita menjadi ibu. Sebagai catatan, saya bukannya benci anak-anak. Saya teacher dan beberapa murid saya, anak-anak. Kakak saya dan suaminya juga childfree. Mungkin, they are luckier. Karena mereka tinggal di USA. Yang lebih individual.
Hai kak Athena, pertama-tama makasih udah berkenan mampir. Saya senang sekali kalau bisa bertukar pikiran terbuka kek gini. Apalagi bisa mendapat sudut pandang langsung dari kaka, yang pro hehe. Bener banget deh, kalau lihat cukture kita seolah-olah masih banyak yang hamil di luar nikah, bahkan mereka yang MBA juga kebanyakan masih sekolah, ngga pikir panjang banyak yang aborsi, atau dilahirkan tapi dibuang. Emang saya miris sekali, kalau mreka cuma bisa mengeluarjan tapi ngga diiringi tanggung jawab. Seperti di Korea, bahkan suami istri yang udah mapan finansial kadang menunda memiliki anak karena berbagai pertimbangan finansial juga. Benar kalau di agama saya, seorang anak akan punya rejekinya sendiri, tapi sekali lagi ini adalah pilihan 2 orang. Ngga bisa cuma 1 orang saja. Jadi saya pun bisa menghargai pilihan mereka. Karena memang ngga semua orang siap bukan?
Jangankan tentang childfree, sekarang juga banyak org yang memilih tidak menikah. Dengan berbagai pertimbangan. Cuma ya gitu kalau di sini kan netinya tuh beneran julid, gatel kalau ngga nengokin urusan orang. Padahal mah ngga ngasih makan juga kan. Ya kitanya emang juga harus berani tutup kuping ngga usah dipikirin apa kata orang. Jadi apapun pilihan seseorang, pastinya orang tersebut juga udah mempertimbangkan segala kemungkinan baik dan buruknya menurut sepatu mereka sendiri, dan ini yang ngga bisa disama ratakan dengan sepatu orang lain.