Percakapan random berikut ini nyatanya bisa membuahkan sebuah pemikiran baru. Sebuah kesegaran di anatara hiruk pikuk keimanan yang kadang naik turun tak tahu arah. Hanya ‘sebuah’ pertanyaan random dari ‘sebuah’ kaos di salah satu akun IG yang mengasuh psikologi umum tapi bisa jadi tema baru.
Berangkat dari sebuah kaos bertulisan :

Kitty (K) dan Lintang (L)
K : Tulisan kaosnya depresi bukan kurang iman. Ya Allah.
L : Apa sih mba?
K : Itu tulisan kaosnya. Nih logikanya ya selain mendekatkan diri ke Tuhan yang nyiptain jiwa terus ke siapa lagi?
Ga ada yang lain kan? Bener-bener deh, Ntang. Kamu sama temen-temenmu harus ngangkat topik ini sebagai tulisan, di luar keilmuan kalian yang bukan psikologi.
L : Depresi berarti kurang beriman?
K : Iya. Tanggapan dari orang non psikologi gimana? Hampir semua psikiater dan orang psikologi setuju semua soalnya. Aku makin sedih, dunia makin sesat.
L : Kalau aku sebagai non psikologi ya jelas, depresi karena kita kurang dekat sama Allah.
Btw, kalau menurut mereka depresi bukan kurang iman, terus apa dong?
K : Menurut mereka yang bener adalah datang ke psikolog dan psikiater untuk ngurangin depresinya.
L : Gilee aja. Mana ada ceritanya berharap sesama manusia.
K : Kalau dari buku emang salah satu penyebabnya adalah jauh dari Allah.
Walaupun kita ngaji atau shalat belum tentu dia dalam keadaan 100% dengan Allah. Itu yang sulit diterima oleh mereka para penderita depresi khususnya yang merasa dirinya banyak ibadahnya. Padahal amalan hati saat beribadah juga penting loh.
Kemarin nih Ntang, ada satu orang di acara book club penderita depresi, dia ga terima dan katanya dia justru depresi saat dia banyak ngaji. Nah, urusan hati emang patut dipertanyakan. Dan biarlah itu urusan dia sama Tuhan.
L : Oh ya? Bisa gitu ya. Banyak ngaji kok malah depresi?
K : Iya. Aku juga sering kok ngaji tapi merasa jauh sama Allah. Jadi mindful (fokus) dalam ibadah itu penting. Yang dibilang GitaSav itu bener kalau connection with God is not strong enough.
Baca Juga: Menjadi Relawan, Pendidik, sampai Ibu Rumah Tangga

L : Ya lah. Pernah juga ga sih, pas shalat lupa uda sampe rakaat berapa? Malah mikir ini itu to do list yang belum dikerjain? Karena Al-Fatihah dan Qulhu series emang udah ngelontok hapal di luar kepala. Ya karena kita tidak menghadirkan Allah dalam kehidupan kita.
K : Nah itu dia. Bener banget. Takwa itu kan artinya menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas kita. Terutama shalat dan ibadah utama lainnya kan, Ntang.
L : Kata temenku, Diane Tice melakukan penelitian selama bertahun-tahun dan dirangkum dalam bukunya HandBook of Metal Control dan rubrik Psychology Today yang akhirnya membuat dia balik ke ranah “Illahi”
Baca Juga: Dear My Self: Sebuah Kotak Mimpi untuk Masa Depan

K : Bener Ntang. Aku setuju. Kita beneran harus balik ke Sang Pembolak balik hati. Kalau aku sih kuncinya disaat manusia tidak bisa megang janji, kepada siapa lagi kita harus berharap selain Allah, yang di Al Qur’an sendiri Dia bersumpah tak akan ingkar janji.
It’s all about our high expectation to human that make us depressed.
Tapi kita juga harus kenali tanda-tanda gejala depresi biar kita bisa temani orang itu tanpa menghakimi kalau dia kurang iman.
Intinya pengertian dan jangan nge-judge dulu kalau ketemu orang ini.
Memang bener kok faktanya orang depresi karna jauh dari Allah, tapi mana ada sih orang yang mau dikatain ga ada imannya?
Jadi solusi pertolongan pertama untuk orang depresi hanya cukup menjadi kuping bagi mereka dulu. Mereka hanya ingin didengar kok. Baru pelan-pelan kita masuk ke hatinya untuk selalu ingat Allah.
Dulu Ntang, waktu aku sempat depresi, aku ngerasa ga ada orang yang mau dengerin aku. Sampe aku pasrah dan serahkan semuanya ke Allah. Ya tapi kan ga semua kaya gitu. Ada sebagian yang ga bisa mikir dan bawaannya malah pengen bunuh diri.
Nah yang kaya gini yang jangan kita hakimi. Kita harus bener-bener jadi temennya dulu sampe dia bisa nerima keadaan.
L : Ya emang kadang kondisi seseorang lagi labil dengan iman yang lagi naik turun Mbak. Kadang orang depresi dikasi tau juga juga bolong kupingnya lewat doang.
Bener ga sih, kalo semua balik lagi ke dirinya. Maksudnya ya dia sendiri yang bisa nentuin sembuh apa nggaknya. Karna kadang, dia sendiri belum mau menerima kondisinya yang sedang depresi.
K : Nih ya aku saranin ya kalau boleh, bentuk sedekah yang ga perlu ngeluarin duit tapi juga dapat pahala : prasangka baik. Kadang kita begitu gampangnya berasumsi sebelum mengalaminya.
Perlu dipahami dalam keadaan depresi, dada terasa sempit. Dan emang gitu arti dari depresi, Ntang. Bukan telinga yang bolong.
Tapi dada yang sempit itu bisa dibuka pelan-pelan dengan penerimaan kondisi diri dulu. Dan itu butuh orang yang bisa mau pahami dia sampai fungsi kehidupan bisa berjalan normal kembali.
L : Susaaaaah. Hahahaha.
K : Bisa kok.
Justru prasangka itu pengikis amal kebaikan tanpa disadari.
L : Indeed.
*Kitty adalah seorang psikolog lulusan Universitas Indonesia yang sedang menapaki jalan hijrahnya dan belajar sangat banyak tentang ilmu agama. Sering membuka wawasan sempit saya, membuka mata dan pikiran pendek saya, mengajari tanpa menggurui, ringan tangan dalam membalas pertanyaan, tak segan bertanya bila tak paham, selalu down to earth dalam berbagi apapun. Semoga Allah senantiasa melindungimu, melimpahi keluargamu dengan keberkahan rezeki dan segala doamu terijabah Allah, duhai kakak ku sayang ❤
3 Komentar. Leave new
Saya suka banget dengan model bahasan berat dibuat percakapan seperti ini. Jadi lebih masuk membacanya.
Untuk yang mengalami depresi, jadi sebaiknya kita berperan seperti seorang psikiater juga ya Kak?
Psikiater kan mendengarkan dan melemparkan pertanyaan untuk menggali tanpa menghakimi.
Bisa jadi alasan tidak terkoneksi seutuhnya dengan Sang Pencipta, mungkin disebabkan karena berkurangnya rasa percaya. Seseorang yang depresi merasa sendirian dan tidak mendapatkan pertolongan yang dibutuhkan dari sekeliling, yang kemudian mungkin diartikannya dengan Sang Pencipta tidak perduli padanya.
Yang saya tuliskan di atas, hanya kemungkinan dan opini orang awam saja. Karena “loneliness” itu bisa berbahaya.
Sebenernya kak Ren, agak takut juga menuliskan masalah depresi gini. Takut banyak yang belum bisa menerima, makanya dibuat percakapan. Ya murni tanya jawab dari sudut pandang tertentu tapi bukan malah menghakimi. Bener banget, kita mending lebih banyak mendengar, karena “loneliness” itu tadi yang mereka butuh seseorang buat berbagi, butuh telinga buat didengar, bukan malah disudutkan. Mereka butuh dirangkul, dikuatkan, agar rasa percaya diri mereka tumbuh, merasa dihargai dan bernilai, gitu kan ya? Takutnya loneliness tadi mengarah ke tindakan-tindakan yang ngga diinginkan..
Makasih kak Ren sudah mampir dan berbagi insight 🙂
Gak sesimpel ini wkwkwk. Kocak bacanya. Zaman kejayaan Islam juga banyak yang depresi. Apa mereka kurang ibadah? Ada kok cendekiawan muslim yang bahas ini. Intinya depresi itu kompleks. Kalo dianggap letaknya di hati, gak heran diserempetin ke iman. Padahal kan depresi itu di otak, berkaitan sama tubuh karena banyak hormon berpengaruh. Mirip sakit fisik lainnya, misal diabetes apa karena kurang iman? Wkwkwk. Yah intinya ada yang iman dan ibadahnya lemah, tapi sehat mentalnya. Ada yang iman dan ibadahnya rajin, tapi sakit mentalnya.