Hari ini kembali aku tergugu, entah seperti tak mendengar apa yang beliau katakan. Mungkin akan lebih baik kalau aku pura-pura tak mendengar? Detak jantungku hampir berhenti sepersekian detik, mencerna ucapan beliau. Bayang-bayang saat akan melahirkannya dulu kembali berkelebat lagi. Duniaku saat ini hanya mengelilingi semestanya. Pun dia semestaku..
Dia.. pagiku, juga senjaku..
Dia..bintangku, juga purnamaku..
Dia adalah alasanku semangat melanjutkan hidup. Dia bahan bakarku menghadapi hari-hari yang kelabu.
“Ini sakit yang serius bu.. Ibu bersabar ya. Jangan patah semangat mendoakannya,” kata beliau pelan.
“Tapi bah, saya takut ke dokter. Pasti akan di operasi,” sahutku pelan hampir terisak.
“Lebih dari itu bu, ada kemungkinan di amputasi.”
Kata-kata terakhir abah seperti palu godam yang menghantam kepalaku berkali-kali. Bagaimana genduk kecil ini tanpa kaki? Dia biasa berlari kepadaku, memelukku dan memanggilku ibu..
Membayangkan saja sudah membuat air mata ini tak bisa berhenti mengalir.
Apakah aku bisa berdamai dengan kata ikhlas?
Apakah hatiku bisa selapang itu?
Apakah aku mampu membohongi nuraniku dan berkata aku baik-baik saja?
Malang. 11 Oktober 2020