Beberapa waktu yang lalu sedang ramai di linimasa dan menjadi trending topic twitter, “Usia 25 Tahun Idealnya Punya Apa?”. Banyak banget yang ikut menjawab tantangan usia seperempat abad itu, sedang apa? sudah menjadi apa? Padahal quarter life crisis ini adalah masa penting, peralihan, dan mungkin menemukan jati diri. Begitukah pemirsah? Periode 18-30 tahun apakah benar masih merasa tidak memiliki arah, khawatir, bingung, apa yang ingin diwujudkan, apakah passion itu? Banyak kecemasan mengenai percintaan, karier, kehidupan sosial bahkan masa depan. Jadi ingat kalau aku sendiri juga punya mimpi yang harus diwujudkan sebelum umur 25.
Aku termasuk salah satu remaja galau yang khawatir tentang masa depan. Tidak punya cita-cita, bahkan belum menemukan apa passion yang dimiliki. Hanya mengikuti arah, sekolah-lulus-kerja. Tidak tahu harus memilih jurusan apa untuk melanjutkan kuliah. Hanya punya beberapa keinginan sederhana yang kuingat saat itu. Sebelum umur 25 harus bisa menjejakkan kaki di puncak abadi para dewa: Mahameru. Sebelum umur 25 harus sudah menikah. Sebuah keinginan sederhana. Ngga muluk-muluk, bukan? Manakah yang terwujud lebih dulu?
Membaca Meru Anjani, adalah sebuah kehormatan. Mendapat ucapan terima kasih langsung dari sang penulis di kata pengantar adalah sebuah penghargaan bagiku, yang katanya bagian dari support system penulis. Ahh, sungguh terharu. Meru Anjani adalah sebuah memoar yang membuatku kembali nostalgia tentang mimpi-mimpiku. Setiap halamannya membawaku terbang pada tiap jejak langkahku menapaki Ranu Kumbolo.
Penulis Meru Anjani, aku menyebutnya Ranger Biru, bercerita bahwa dia ingin melepaskan lelahnya rutinitas. Kesibukan dan kepadatan ibukota memang membuat kejenuhan. Akupun pernah hidup dan memeras keringat di sana. Tentu saja aku merindukan bau alam, bau pohon, bau embun, yang sudah pasti terenggut oleh asap kota besar. Inikah definisi sebuah kerinduan untuk pulang?
Baca Juga:
Table of Contents
Meru di Tanah Jambudvipa
Halaman awal buku ini dibuka dengan sedikit kisah Meru. Baiklah, aku akan sedikit berbagi cerita.
Jaman dahulu terdapat sebuah pulau kecil di tengah lautan. Dewa Shiwa ingin pulau ini dihuni manusia. Pulau ini selalu bergoyang, maka Dewa Shiwa berencana memakukannya dengan cara mengambil sebuah gunung bernama Meru di Tanah Jambudvipa. Dewa Shiwa meminta bantuan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma untuk memindahkannya. Singkatnya kini pulau kecil itu sudah tak lagi mengambang dan bisa menjadi hunian manusia. Gunung besar yang diletakkan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma di bagian selatan pulau, menjadi tempat bersemayam Dewa Shiwa. Pulau kecil yang tertancap adalah Pulau Jawa. Sedangkan gunung yang dipindahkan dari negeri nan jauh itu adalah Gunung Semeru.
Perjalanan Ranger Biru dimulai dari Ranu Pani (2100 mdpl) pada Mei 2016. Ranu Pani adalah pos pendakian pertama Gunung Semeru. Akupun dulu juga melewati pos pertama ini. Di sini memang batas akhir moda transportasi, karena setelahnya memang harus berjalan kaki. Kalau di sini masih rame sih, banyak warung, kios, toko kelontong. Pokoknya ngga akan kesulitan mendapatkan logistik.
Ada dua hal yang bisa kamu lakukan saat menemukan tempat yang sangat indah. Menyimpannya untuk dirimu sendiri dan membiarkannya menjadi rahasia atau membagikannya kepada orang lain agar mereka tahu bahwa ada surga tersembunyi di sini. Saat kamu memilih merahasiakannya maka tempat itu akan menjadi milikmu sendiri, namun bila kamu memilih untuk membagikannya, maka tempat itu adalah milik banyak orang.
Begitu kata Mas Ambon, salah seorang rekan perjalanan Ranger Biru. Selain Mas Ambon ada Mas Haris, Lemu, dan Kecheng.
Baca Juga:
Ranu Kumbolo (2400 mdpl)
Ranu Kumbolo adalah surganya Gunung Semeru, tempat berkumpulnya para Dewa. Dari Ranu Pani menuju Ranu Kumbolo sekitar 5-6 jam perjalanan. Tergantung kondisi fisik masing-masing orang juga. Aku jadi ingat perjalanan menuju Ranu Kumbolo memang lumayan padat. Masih rame banget, dan banyak sesama pendaki yang saling menyemangati di jalan. Seru banget. Saat itu memang pendakian Semeru lagi booming banget.
Perjalanan tiap pos memang pada awalnya masih menyenangkan, nah mulai pos 3 ke 4 nih udah rawan ngos-ngosan. Duh rasanya kok ngga nyampe-nyampe. Ya elah padahal masih segini doang hahaa.
Ketika harapan sudah di depan mata, kita lanjut berperang atau berhenti tuk melepaskan. Semua tergantung kesiapan, diri sendiri yang menentukan.
Taburan bintang-bintang di langit malam perjalanan Ranu Kumbolo memang selamanya tak akan terlupa. Menyatu dengan alam, bercengkrama dengan kawan seperjalanan, di mana semua ego kemanusiaan akan diuji. Semua terbayar lunas saat keluar dari tenda pagi harinya. Sebuah danau yang terbentang luas dikelilingi bukit nan hijau. Menikmati matahari yang muncul perlahan tepat di antara dua bukit yang mengapit Ranu Kumbolo. Saat itu matahari bersinar penuh sehingga memantulkan cahaya keemasan pada danau. Inikah surga?
Perjalananku cukup sampai Ranu Kumbolo. Sayangnya aku tak bisa mewujudkan mimpiku, menaklukan puncak tertinggi Jawadwipa. Begitupun Ranger Biru. Ada beberapa alasan yang membuat kami berhenti. Kata Ranger Biru,
Mudah tidaknya sebuah perjalanan yang kita lalui bakal mempengaruhi tingkat kepuasaan saat akhirnya memperolehnya. Beda cara, tentu beda rasanya. Bukankah semua ini bukan tempatnya tapi tentang perjalanannya..
Tujuan awal sebuah perjalanan adalah untuk kembali pulang.
Puncak adalah bonus. Bukankah tujuan pendakian yang sesungguhnya adalah pulang sampai rumah dengan selamat?
Baca Juga:
Sebuah Perjalanan untuk Pulang
Layaknya kita hidup hari ini, kita lahir dan menempuh perjalanan yang tidak panjang hanya untuk kembali pulang. Kalau kata orang bilang, urip nang ndunyo mung nunut ngombe kopi. Se-sebentar itu. Secepat menyeduh kopi panas, menyesapnya dan kemudian pergi. Hidup hanya mampir sebentar, untuk kembali melanjutkan perjalanan pada sebuah keabadian. Sudahkah kita menyiapkan bekal?
Seperti saat gagal muncak karena persiapan yang kurang, peralatan yang tidak memadai, mungkin juga cuaca tak bersahabat. Apa yang sudah kita siapkan dengan segala kemungkinan?
Capek boleh. Menyerah jangan.
Sesungguhnya kita harus bersusah payah di dunia. Kalau kata dosenku,
Seorang mukmin akan beristirahat setelah kakinya menjejak ke dalam surga.
Kapan itu?
Putri Anjani dan Cupu Manik Astagina
Namanya Anjani, putri Resi Gotama dan Dewi Indradi. Wajahnya cantik bak bidadari. Suatu ketika ada kekacauan besar di kahyangan. Dibuatlah sayembara “Barangsiapa mampu memadamkan kekacauan yang terjadi, maka dia berhak menikahi salah satu bidadari kahyangan”. Resi Gotama yang mampu memenangkan sayembara tersebut akhirnya menikahi Dewi Indradi. Padahal Dewi Indradi memiliki kekasih yaitu Dewa Surya. Dewa Surya memberikan kenang-kenangan berupa cupu manik astagina.
Resi Gotama dan Dewi Indradi dikaruniai tiga orang anak yaitu, Anjani, Subali, dan Sugriwa. Suatu hari Anjani melihat cupu manik astagina milik ibunya, dan ingin memilikinya. Dengan terpaksa Dewi Indradi memberikannya, dan berpesan agar tidak memperlihatkan pada orang lain. Namun, kedua adiknya mengetahui hal tersebut dan mengadukannya pada Resi Gotama. Resi Gotama marah besar dan mengutuk istrinya menjadi batu. Dia pun membuang cupu manik ke dalam sendang. Mereka semua dihukum untuk bersemedi di atas gunung. Setelah masa hukuman berakhir, Anjani kembali ke kahyangan. Gunung tempatnya bersemedi dinamai Rinjani.
Ranger Biru memulai perjalanan Rinjani dari Terminal kota Malang, kota tempat tinggalnya. Kemudian sampai Mataram dan melanjutkan melewati jalur Sembalun. Ada tiga jalur pendakian resmi menuju Gunung Rinjani yaitu jalur Sembalun di Lombok Timur, jalur Senaru di Lombok Utara, dan jalur Torean di Lombok Utara.
Baca Juga:
Taman Nasional Gunung Rinjani
Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) akhirnya ditetapkan sebagai Global Geopark atau Geopark Dunia dalam sidang Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).
“Baru saja saya mendapat kabar bahwa pada sidang Unesco Executive Board, Kamis (12 April 2018) di Paris, telah menetapkan Geopark Rinjani sebagai anggota baru UNESCO Global Geopark,” ucap General Manager Geopark Rinjani Chairul Mahsul saat dihubungi melalui telepon, Sabtu, 14 April 2018, dilansir Antara.
Salah satu pesona unggulan TNGR, adalah Danau Segara Anak yang berada pada ketinggian 2.010 meter dari permukaan laut (mdpl). Danau Segara Anak berada di sebagian Gunung Rinjani yang tingginya mencapai 3.726 meter dari permukaan laut.
Banyak keuntungan yang didapatkan Gunung Rinjani sebagai Geopark Dunia. Salah satunya adalah publikasi gratis secara global oleh UNESCO, termasuk merekomendasikan pada wisatawan untuk datang. Jadi Rinjani akan lebih banyak dikunjungi oleh turis asing dan domestik.
Pesan dan Harapan untuk Para Pendaki
Membaca Meru Anjani menurutku sangat menghibur, melepaskan penat setelah seharian berjibaku dengan ranah domestik yang tak ada habisnya. Bacaan ringan dan banyak pesan moral membuatku ingin menelisik lebih dalam tentang penulisnya, Laily M Octavia.
Pendakian dimulai pada tahun 2016, apa ada alasan kenapa baru dituliskan sekarang?
Nggak ada alasan khusus, cuma baru terpikirkan saat akhir 2020 kemarin. Pemikiran ini terpatik karena menemukan sayembara menulis tema cerita perjalanan. Setelah dipikir-pikir ada banyak pengalaman yang aku alami yang mungkin orang lain pernah alami pun belum pernah alami. Pengalaman inilah yang ingin aku sampaikan kepada mereka. Sehingga yang pernah mengalami bisa bernostalgia sedangkan yang belum pernah mengalami bisa ikut merasa mengalami. Dan rasanya terlalu melelahkan bila harus bercerita secara detail satu persatuterhadap tiap orang. Sehingga menuliskannya merupakan cara paling tepat buat aku yang tak pandai bercerita secara lisan.
Untuk saat ini, setelah sekian lama vakum muncak, apakah masih ada keinginan mendaki lagi?
Kadang ingin, kadang juga nggak. Lebih ke malas sih daripada yang bener-bener karena nggak mau. Mungkin sekarang lebih milih mendaki ke gunung atau bukit yang nggak terlalu tinggi sehingga ga butuh waktu banyak. Yang paling cuma perlu waktu 2 hari 1 malam atau yang sehari aja. Selain kendala waktu juga sih.
Masih tersisa kah keinginan menaklukan puncak abadi para dewa ketinggian 3676 mdpl?
Kalo ini udah nggak sih. Mungkin dulu saat masih usia 20-an masih excited banget pingin nunjukin ke-aku-an diri ya. Tapi kalo sekarang lebih condong ke keselamatan, kalihatannya semakin bertambahnya usia kekhawatiran tentang keselamatan lebih meningkat hehe.
Bila ada kesempatan summit lagi, dengan budget maksimal dan segala fasilitas, masihkah memilih menikmati keterbatasan atau menyewa jasa porter?
Kalo ada budget lebih nggak ada salahnya sewa porter. Jadi aku memilih sewa porterlah. Selain bisa membawakan barang juga bisa menjadi teman jalan. Dan tentunya bisa mengulik banyak cerita dari mereka.
Gunung atau pantai? Dan alasannya..
I love both. Sama-sama indahnya sih kalo menurutku.
Quote favorit dalam buku Meru Anjani adalah?
Semakin jauh kau melangkah, semakin banyak orang yang kau temui, semakin luas pandanganmu tentang dunia.
Boleh berbagi sedikit pesan untuk pendaki pemula, atau para milenial yang ingin muncak?
Persiapkan baik-baik perlengkapan yang dibawa dan dipakai sebelum memulai perjalanan. Siapkan mental dan fisik kalian juga. Jangan pernah tinggalkan teman kalian sendirian. Jaga sikap dan jaga lingkungan. Hmm yang terakhir, tetaplah membumi.
Harapan untuk semua pendaki adalah?
Semoga tak hanya datang dan menikmati keindahannya saja, tapi juga menjaga kelestariannya. *klise banget ya haha.
Setiap Perjalanan Memiliki Ceritanya Sendiri
Tak seperti Semeru, yang gagal dia taklukkan. Rinjani punya ceritanya sendiri. Tentang persahabatan, perjuangan, rasa lelah, putus asa, dan khawatir. Semeru dan Rinjani punya kisahnya masing-masing. Begitu juga kehidupan, punya banyak misteri dan pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Setiap perjalanan selalu memiliki cerita. Seperti perjalananku yang tak mampu menjejakkan langkah ke Mahameru. Setidaknya aku mampu mewujudkan mimpiku menikah sebelum umur 25 tahun :p
Akhir kata, semoga kita semua bisa mempersiapkan bekal terbaik untuk perjalanan pulang.
Meru Anjani
2021, Bukuin Publishing
Jumlah halaman: i-iv + 178 halaman
Penulis: Laily M. Oktavia
Malang, 23 Mei 2021
15 Komentar. Leave new
Waaah, another novel yang mengangkat latar belakang Semeru. Saya masih ingat sekitar 2012 itu saya pernah baca novel judulnya Tahta Mahameru, karangan Azzura Dayana. Itu juga bagussss.
Asik nih Meru Anjani, apalagi tebalnya gak nyampe 200 halaman yaaa.
Iya bacanya cepet kok karena ringan dan menghibur. Tapi banyak tips dan pesan moral untuk pendaki
Seru ya… pernah ngalamin naik gunung… secara aku bru sekali kalinya naik gunung sekitaran bogor… jam 10 malam sepi banget sampai di tanah datar (kirain ini udah dipuncak gunung)..
Besoknya bangun2 ga jauh dari tanah lapang tempat kami bangun tenda, banyak rumah penduduk.. dan kami masih jauh dari puncak… yg ada ga ada tuch momen masak sendiri, atai bikin api unggun… malahan duduk sama warga di warung kopi, ngobrol menghabiskan waktu hingga menunggu waktu turun… dasar bukan anak gunung…
Jadi kalau baca cerita anak2 gunung… suka kagum sekaligus iri …. hehehe
Wkwkwkwkkwkw keren lah tapi bang setidaknya udah ada niatan mau trekking. Walaupun kena zonk. Yang penting kan prosesnya dan keseruannya. besok coba lagi ya, wkwkwk
Baca ini jadi ingat perjalanan pendakian pertamaku mbak, mencapai puncak gunung lawu. Rasanya puas banget setelah semalaman berjalan mendaki, lalu duduk menunggu matahari terbit. Walau tak lama berada di puncak dan harus segera turun agar tak terjebak kabut
Rasanya puas banget ya mbak kalau udah sampai puncak. Kaya semua capek langsung hilang.
Aku punya temen yang suka sekali mendaki kak. Keinginan dia pun ingin menaklukkan Semeru.
Dan memang semenjak publisitas gratis dari UNESCO jadi semakin ramai orang ke sana. Sedihnya ada beberapa hal yang disesalkan. Misalnya terlalu anggap enteng perjalanan sehingga menghiraukan keselamatan dan juga masalah sampah para pendaki.
Nah ini yang kita harus mempersiapkan dengan bijak. Semua butuh persiapan, perlengkapan yang matang. Masa iya udah jalan jauh jadinya berhenti di tengah jalan gara-gara kurang persiapan. Sayang kan..
Pasti seru banget memiliki jiwa pendaki dan berhasil sampai di puncak kemudian menikmatinya semua proses dan hasil di saat di puncak
Bangettt. Kaya semua perjuangan terbayar tuntas deh rasanya..
Serunya ya kalau bisa naik gunung! Saya sendiri belum pernah naik gunung apalagi sampai bermalam di gunung dan melihat matahari terbit. Namun, setidaknya dari novel ini, merasakan ketegangannya. Mantap.
Hayuukkk cobaaainn. Seru abisss dehhh!
Seumur-umur saya gak pernah naik gunung, tapi sepertinya membaca cerita perjalanan naik gunung akan memberikan wawasan yang cukup tentang pengalaman mendaki itu. Buku ini sepertinya menarik
Ayoo uda boleh dicoba naik gunung wkwkwk
Jadi kapan kita berangkat kak?