Memasuki 22 Ramadhan, masya Allah!
Bagaimana tidak sedih, sebentar lagi kita akan ditinggal pergi bulan yang mulia?
Apa kabar anak-anak yang masih berlatih puasa? Tidakkah ini semakin berat atau malah menambah semangat mereka?
Baca Juga: Mendampingi Anak TK Berpuasa (bagian 1)
Sebagai orang dewasa, tentu saja kita menjalani ini dengan bahagia. Kalau tidak bahagia, apakah kita masih bisa menjalankannya sampai garis akhir? Mengapa kita bertahan? Tentu saja karena keimanan dalam dada ini, bukan? Kita sudah mafhum untuk apa kita berpuasa. Tapi bagaimana dengan anak-anak, yang bahkan belum diwajibkan atas mereka berpuasa. Ini bukan perkara mudah bagi mereka, menjalani latihan dan pembiasaan. Apalagi yang masih belum memasuki usia baligh.
Ingat ngga, kita umur berapa mulai full puasa sampai magrib. Saya sendiri memasuki SD masih puasa beduk kayanya. Baru mulai full sekitar kelas 5-6 SD. Dan nyatanya memasuki SMP juga masih sering mokel sekali dua kali bareng temen-temen. Puasa ramadhan ini tanpa jeda selama 30 hari berturut-turut. Bukan seperti puasa Senin dan Kamis, atau puasa Yaumul Bidh yang hanya 3 hari dalam sebulan. Tentu saja wajar kalau anak merasakan capek, bahkan bosan. Kalau buat kita saja ini tidak mudah untuk meraih kemenangan, apalagi anak-anak yang masih dalam tahap pendampingan.
Sebagai orang tua, lapangkanlah dada ini agar bisa membaca sudut pandang mereka. Sudah mau puasa sampai dhuhur saja saya sudah bersyukur. Apalagi mau melanjutkan sampai magrib adalah bonus. Dulu saya kalau dhuhur sudah berbuka ya sudah, tidak puasa lagi. Sedangkan anak-anak saya saat ini, masih saya himbau untuk melanjutkan puasa sampai magrib. Peluk mereka, tanggapi dengan empati. Dengarkan keluh kesahnya. Temani mereka, letakkan hati dan raga bersamanya. Sekali lagi ini tidak mudah, tantangan bagi orang tua baru yang tahun ini mulai mendampingi anak TK berpuasa. Selamat anda sudah naik level, pak, bu!
Saya pernah bilang,
Puasa itu ibadah yang Allah sendiri langsung menilainya. Puasa itu untuk Allah. Mas boleh saja berbuka tanpa sepengetahuan ibu. Tapi Allah lebih tahu. Kalau kamu lapar, semua umat Islam sedunia juga lapar.
” Puasa itu memang menahan lapar dan haus. Juga menahan amarah. Puasa juga melatih mas untuk belajar berempati. Mas kalau makanannya sering ngga habis, gimana sekarang tahu kan rasanya lapar? Boleh ngga membuang-buang makanan? Tahu kan rasanya orang lapar? Dan tentu masih banyak saudara kita yang masih ngga bisa makan. Sekarang kamu tahu kan bagaimana menghargai makananmu. Ya habiskan makananmu. Kamu makan tinggal makan. Ngga perlu ke sawah dulu, ngga perlu nanam padi, ngga perlu masak beras, ngga perlu kerja dulu cari uang buat beli beras. Makan tinggal mangap, lho.
Orang yang puasa juga harus shalat. Buat apa kamu puasa kalau shalatmu ketinggalan. Ini sama-sama ibadah wajib yang harus dibiasakan. Shalat itu kebutuhan buat kamu sendiri. Allah ngga papa kamu ngga shalat. Seperti kamu saat lapar, kamu butuh makan kan? Ya jiwamu yang lapar itu harus diberi makan dengan shalat. Jadi shalat itu kebutuhan untuk dirimu sendiri. Kalau kamu ngga mau makan, bukan ibu kan yang lapar?
Bulan Ramadhan itu bulan baik, bulan mulia. Semua amal ibadah kamu akan bernilai berkali-kali lipat banyaknya. Kalau bantu ibu, mau nurut, maka pahalanya juga akan berkali-kali banyaknya. Amalan yang sunnah aja akan bernilai seperti amalan wajib. Makanya shalat qabliyah subuh, shalat dhuha, juga shalat tarawih. Masih banyak lagi amal kebaikan lainnya.”
Yah, meskipun mereka sering mengeluhkan kok shalat tarawih ngga selesai-selesai. Ya iya dong, lha wong ada 21 rakaat. wkwkk. Jadi saya bilang, mereka boleh beristirahat kalau capek. Yah meskipun banyak mainannya daripada shalatnya. Setidaknya mereka senang kalau diajak shalat di masjid. Calon mujahid kan harus dekat hatinya dengan masjid, insya Allah.
Ada suatu momen yang bikin saya terharu. Hari Sabtu kemarin, Ghazan ada outbond di sekolah. Sama gurunya boleh membawa minum, tapi ngga boleh bawa makanan. Saya tidak membekalinya dengan minum, karena memang dia sedang ‘latihan’ puasa. Pas saya jemput, eh dia pakai badge “Saya senang berpuasa”. Saya terharu dong dan bertanya,
I: Lho mas ghazan dapat badge apa ini? Ibu baca ya..Saya senang berpuasa. Alhamdulillah Ghazan masih puasa?
G: Iya puasa.
I: Ghazan ngga haus? Kan habis outbond. Ngga pengen minum, le?
G: Iya pengen bu..
I: Temen-temennya minum
G: Ada yang bawa minum tadi. Terus kok minum di depanku.
(mulai terharu)
I: Terus mas Ghazan ngga minta kak Ancy?
G: Ya ngga bu. Kan puasa.
(hampir baper, masya Allah)
I: Lhooo mas Ghazan gapapa kalau mau minum. Ya nanti dilanjutkan puasa lagi.
G: Ngga bu gapapa ya puasa. Kan sehat. Aku kuat ya buk.
Duuhh lelaki kecil ini bisa banget sih bikin melting. Padahal dia biasanya yang ngga tahan haus banget, sama ngga tahan laper.
Alhamdulillah makin ke sini anak-anak makin kondusif sih. Udah ngga ada lagi ceritanya minta minum pagi hari. Ghazan pun udah (dewasa) haha. Udah mau berusaha sampai magrib lah dua-duanya. Sampai kadang lupa tanpa iming-iming udah mau puasa sampai akhir. Jam kritis kemarin pun mereka habiskan dengan berenang di belakang rumah. Kemudian berbagi takjil gratis di masjid. Jadi pas sampai rumah emang pas udah adzan magrib. Bangun sahur pun yang biasanya merengek, sudah bisa dikondisikan. No drama no rempong insya Allah. Sungguh memang fitrah mereka adalah hati yang lembut dan suka berbuat kebaikan. Hanya kita sebagai orang tuanya yang harus bisa memantiknya.
Bahkan kemarin saat ke rumah tantenya untuk mengambil takjil, ditawarin es. Tapi mereka menjawab, “Ngga tante ais, kan puasa”. Uhhh sosweet bangetttt.
Sekarang di detik-detik terakhir estafet kemenangan, saatnya kita menanamkan kemuliaan malam kebaikan. Malam Lailatul Qadr. Selamat menanamkan nilai-nilai keimanan dan berburu malam yang lebih baik dari 1000 bulan.
Catatan mendampingi puasa oleh ibu Ghazi,
22 Ramadhan 1442 H