Note : silahkan meluangkan waktu sejenak sambil ngopi atau nyemil kacang rebus. Boleh sambil gegoleran, asal jangan mikirin mantan. Cerita ini sepanjang drama indosiar!
Aku memanggilnya ayah. Kadang aku pikir, apa sih hebatnya dia? apakah hanya karena berhasil menyumbangkan setetes maninya sehingga bisa membuahi sel telur ibuku dan booom, jadilah aku. Proses itu memang berperan, tapi toh banyak orang tua seperti itu yang berperan pada awal pembentukan anaknya, namun pada akhirnya tak mampu membesarkan mereka dengan baik.
Aku bersyukur mempunyai orang tua yang bisa membesarkanku dengan sangat baik. Ayah juga yang paling getol tentang pendidikanku. Aku ini anak pertama dan harus bisa memberi contoh yang sangat baik untuk kedua adikku. Begitu katanya. Jadi aku harus bisa membuktikan pada kedua adikku aku bisa sekolah tinggi. Kalau ayah dan ibu bisa meraih gelar sarjananya, aku juga harus bisa. Mungkin terdengar klise, tapi begitulah dia menyemangatiku. Agar aku tidak kehilangan keinginan untuk belajar sampai negeri Cina.
Dia yang mengajariku matematika saat aku masih Sekolah Dasar. Ibu kadang – kadang mengajariku cara pembagian sederhana, tapi kadang aku dengan bebalnya tidak bisa menangkap apa yang ia sampaikan. Sampai akhirnya dia kehilangan kesabaran dan menyuruh ayah meneruskan materinya.
Dengan sabar dan telaten ayah bertanya aku bermasalah pada bagian yang mana? Aku mengaku dengan terus terang, aku tidak pandai menghapal perkalian dan pembagian dasar. Kata dia perkalian dasar sampai angka 10 x 10 itu kunci semua matematika. Kalau aku tidak bisa menghafal aku juga tidak bisa menghitung perkalian dengan angka yang lebih besar. Jadi dia setiap hari melatihku dengan membuatkan memo perkalian dari perkalian 1×1 sampai 10×10 yang bisa aku bawa kemana saja.
Saat aku kesulitan menghafal dia membawakan banyak lidi sebagai alat bantu menghitung. Sehingga aku ingat sekali dulu ruang tamu rumah kami penuh lidi berserakan dan ibu selalu mengomel karena kalau tiba – tiba ada tamu datang kami kelabakan memebereskannya. Dan dia sering melatihku kapan pun.
Entah itu sepulang sekolah, setelah mandi sore, sepulang mengaji ataupun sebelum tidur. Meskupun kadang aku muak, tapi lama – lama aku menjadi terbiasa. Sehingga pada saat ada tes hapalan di depan kelas di sekolah, aku tidak pernah berdiri di depan kelas seperti teman lain yang tidak memilik metode mengajar seperti ayahku. Great !
Pada saat aku baru kelas 1 SD ayah juga mendaftarkan aku mengaji di masjid dekat rumah. Pada awalnya aku takut sekali. Karena pada saat pertama masuk, aku harus dihadapkan dengan buku yang berisi tulisan – tulisan yang bahkan aku tidak bisa membacanya. Aku tahu itu Al-Qur’an, karena ayah dan ibu sering membaca bersama dan aku hanya mendengarkan suara indah yang terlantun keluar dari mulut mereka.
Mereka seperti bernyayi, sehingga aku selalu merasa tenang saat mereka mengaji. Tetapi guru mengajiku tidak memberi al-Qur’an untuk belajar. Karena katanya aku akan bingung dengan lembaran Qur’an yang tebal dengan ayat yang sangat banyak. Jadi kami punya buku kecil enam jilid, yang namanya iqra’. Lebih simpel dan mudah di bawa.
Aku senang sekali saat pulang mengaji dan bilang pada ayah kalau temanku jadi sangat banyak. Dia juga mengulang bagaimana perkembangan mengajiku. Jadi sebelum mengecek kemampuan menghafal perkalianku, dia selalu menyuruhku menceritakan apa yang aku peroleh dari mengaji dan mengoreksiku kembali dalam menghafal huruf arab.
Dia sering tidak puas dengan kemampuan menghafalku. Jadi aku dibuatkan semacam notes kecil lagi yang bisa kubawa kemana – mana. Isinya huruf arab dan pembacaanya dalam huruf latin. Jadi aku bisa menghafalnya dimana saja karena ayah menggantungkan di leherku dan mau tidak mau aku harus membacanya setiap saat.
Kata ayah dia tidak sabar menunggu aku bisa membaca al-Qur’an setelah aku khatam iqra. Saat aku harus pindah rumah ayahku juga tidak lupa mendaftarkanku ke TPQ terdekat. Dan di TPQ ini aku mengikuti lomba cerdas cermat antar kampung. Ayahku datang membawa spanduk yang dia bikin sendiri. Norak, kataku.
Ibuku tidak datang karena ada pengajian bulanan di rumah tetangga. Malam sebelumnya ayah melatihku dengan pengetahuan dasar Ilmu Pengetahuan Alam, Sosial dan Agama. Misalnya bagaimana cara manusia bernapas, bagaimana tumbuhan bernapas. Atau berapa banyak provinsi di Indonesia, ada berapa banyak benua di dunia dan menyebutkan nama 25 nabi beserta mujizatnya. Dan atas hasil kerja kerasnya itu, aku mendapatkan juara 2. Meski bukan juara pertama dia sudah senang bukan kepalang karena itu piala pertama yang berhasil aku bawa ke rumah. Katanya aku sudah berusaha dengan keras. Dan itu membuatnya bangga.
Aku pun pernah ditunjuk untuk membaca surat Al-Qadr 1-5 pada saat Nuzulul Qur’an. Aku senang sekali suasana syahdu saat orang – orang mendengarkanku membaca tartil yang merdu di masjid. Begitu damai. Aku selalu senang saat bulan Ramadhan tiba. Selain pulang sekolah lebih cepat, aku senang sekali shalat tarawih. Karena kami bisa bermain malam hari. Iya, bahagia itu sederhana.
Ayah mengajariku puasa setengah hari pada awalnya. Dan perlahan puasa penuh kalau aku sudah kuat. Aku bertanya kenapa kita tidak boleh makan dan minum sampai matahari tenggelam. Kata ayah, puasa itu bukan hanya menahan lapar tapi juga menahan nafsu. Pertama agar kita selalu bersyukur karena kita masih bisa makan setiap hari. Karena masih banyak saudara kita yang meskipun bukan bulan Ramadhan tapi masih tidak bisa makan. Kedua agar kita mengendalikan nafsu seperti menahan amarah, berhenti bergunjing, berhenti menguping pembicaraan orang dan mengendalikan apapun yang tercela. Karena kata ayah,
“ Sesungguhnya ada perang yang paling besar selain perang Badar di zaman Rasul. Padahal perang Badar adalah perang paling besar di zaman itu. Perang paling besar melebihi perang Badar adalah perang melawan hawa nafsu. “
Ayah juga sangat getol dalam menyuruhku shalat. Dulu aku bingung mereka ini mengerjakan apa sih, suatu gerakan yang seperti pendinginan senam dan dilakukan 5 kali sehari. Sewaktu aku masih TK saat orang tuaku shalat berjamaah, aku hanya tiduran di samping ibuku. Mereka tidak bicara satu sama lain, tetapi ibu mengikuti gerakan ayah. Saat aku bertanya pada ayah, dia hanya menjawab, “Kami sedang berkomunikasi dengan Allah”.
Aku bilang sama ayah, aku juga ingin bisa. Dan dia sangat bersuka cita mendengar aku yang pingin belajar shalat. So he teachs me everyday after school and explain me how to shalat. Pertama dia mengajari gerakannya mulai awal takbir sampai tahiyatul akhir. Aku hanya disuruh mengulang gerakan – gerakan itu terus tanpa membaca doa. Jadi setiap ayah dan ibu shalat berjamaah, aku sudah tidak tiduran disamping ibu tapi juga mengukuti gerakan ibu disampingnya. Kemudian ayah mulai mengajariku bacaan – bacaan shalat.
Karena aku sudah hafal beberapa doa sebelum aku masuk TK. Seperti doa untuk kedua orang tua, doa sebelum makan, doa sebelum tidur dan doa pendek lainnya. Nilai plus saat masuk TK tentunya. Karena bacaan banyak sekali, dan aku harus menghafalkan banyak hal, lagi – lagi ayahku dengan sabar menungguku hafalan. Dan melatihku menghafal ayat – ayat pendek bacaan untuk shalat. Kata ayah pendidikan agama itu sangat penting.
Shalat itu tiang agama, jadi dia mengibaratkan bagaimana kalau sebuah rumah tidak ada tiangnya?aku bilang rumahnya akan ambruk. Begitulah. Allah tidak akan pernah kehilangan ke – Esaan Nya hanya karena kita tidak shalat. Justru kitalah yang butuh shalat. Jangan membebani diri untuk shalat karena kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan. Seperti makan. Kita tidak wajib untuk makan, tapi tubuh kita yang butuh makan. Sama seperti shalat. Shalat itu kebutuhan. Dengan perumpamaan yang sangat sederhana seperti itu, tapi aku mengingatnya seumur hidup. Aku jadi takut meninggalkan shalat.
Saat aku ujian kelulusan SD dia juga yang setiap hari melatihku dengan soal – soal latihan yang sangat banyak. Katanya semakin ku sering berlatih mengerjakan soal, maka aku akan terbiasa meskipun mengerjakan soal yang sulit sekalipun. Terbukti benar perkataanya, karena aku berhasil masuk salah satu SMP favorit di kotaku. Kata ayah, jangan samakan sekolah SD sama SMP, semua akan benar – benar berbeda. Banyak teman yang baru dan pelajarannya juga akan semakin sulit. Meskipun aku berprestasi di SD, akan sulit mengimbangi jika aku tidak giat belajar.
Lagi – lagi omongannya terbukti benar. Karena belum mampu beradaptasi, pada semester pertama nilaiku jeblok. Ibu yang murka, tapi ayahku tidak. Dia tahu aku belum mampu beradaptasi. Namanya juga enam tahun menghabiskan waktu dengan teman sekelas yang sama. Dan pergaulanku terbatas. Kalau SMP ada 10 kelas. Dengan peraturan yang mengintimidasi. Dimana, pada saat pergantian semester, kita akan ditempatkan di kelas yang sesuai dengan rapor kita.
Jadi anak – anak dengan nilai excellent berada di kelas paling atas. Kelas J. Sedangkan anak – anak dengan nilai sangat biasa saja atau kurang berada di kelas A. sangat membuat beban mental sekali. Mau di taruh dimana muka ayahku kalau aku berada dikelas paling bawah. Dengan bijaknya ayah membesarkan hatiku, dia bilang dia tidak malu aku berada di kelas bawah. Anak – anak di kelas bawah itu sebenarnya bukannya kurang pintar, tapi hanya belum menemukan metode belajar yang tepat agar mereka bisa berusaha lebih keras lagi.
Tidak pernah ada orang bodoh. Kalau orang tua semakin nge-judge anak dengan memarahinya, bagaimana anak menjadi tidak minder untuk berkembang. Besarkanlah hatinya. Pujilah dia. Maka dia akan menjadi seperti yang seharusnya. Bukankah belajar juga merupakan sebuah proses.
Jadi mau atau tidak mau aku dipaksa beradaptasi. Dan seringnya berganti kelas membuatku semakin mengenal banyak orang dan bisa mengamati sifat – sifat mereka. Kita tidak hidup dengan orang yang benar – benar sama. Hargailah mereka. Hidup dengan banyak perbedaan membuat kita semakin kaya. Begitu kata ayah.
Meskipun aku tidak pernah berada di kelas yang benar – benar bawah dan benar – benar atas, tapi aku bangga. Yang penting prosesnya itu yang aku nikmati bersama kawan – kawanku. Aku aktif ikut organisasi. Seperti Pramuka, Palang Merah Remaja, dan Badan Dakwah Islam. Benar – benar menguras hari – hariku sekali. Tapi kata ayah organisasi itu penting, karena itu cara bagaimana kita bisa bersosialisasi. Bukankah kita sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri harus bisa “take and give” dengan sesamanya. Memberilah sebanyak – banyaknya, selama kita bisa bermanfaat untuk orang lain, selama itulah keberadaan kita akan diakui.
Akhirnya aku masuk SMA yang lumayan favorit. Kata ayah ini masa – masa transisi seorang ABG. Susah mengendalikan seorang anak yang bukan anak – anak lagi tapi belum dewasa. Rasa ingin tahunya banyak. Segala macam di coba. Kalau pada masa ini peran ornag tua kurang, akan berpengaruh banyak bagi anak kedepannya. Lagi – lagi harus beradaptasi. Tapi bukan masalah besar bagiku, karena banyak teman dari SMP yang sama masuk ke SMA yang sama.
Pada saat SMA tidak ada peraturan megintimidasi mental seperti mengurutkan kelas untuk anak – anak berprestasi. Tapi pada saat SMA ada sesuatu yang namanya penjurusan. Yang akan menentukan jurusan apa yang akan kami ambil saat kuliah nanti. Sebuah tantangan bagiku. Kata ayah kalau bisa aku ambil jurusan IPA, biar aman. Kalau IPA bisa ambil semua jurusan apa aja pas kuliah nanti. Jadi semua terserah aku.
Begitulah ayah, dia selalu memberi kebebasan untuk memilih. Tapi dia dibelakangku untuk mengarahkan. Dia tidak pernah melarangku pacaran. Semua temanku punya pacar. Tapi dia bilang alangkah baiknya kalau aku tidak mengurusi hal seperti itu yang mungkin bisa mempengaruhi hasil belajarku. Kalau ibu jelas melarang, katanya aku harus selesai sekolah dulu. Tapi kata ayah, justru kalau anak dilarang mereka akan melakukannya di belakang mereka. Boleh pacaran tapi harus dikenalkan kepada mereka.
Pacaran harus di rumah. Malu sama orang – orang kalau anak yang masih berseragam putih abu – abu harus keluar tanpa muhrim bersama lawan jenis. Jadi jika di rumah mereka bisa mengontrol. Tapi aku memutuskan tidak pacaran dulu. Malu membawa seseorang pria dan aku mengenalkan sebagai pacar sedangkan sang pacar belum bekerja. Masih sama – sama sekolah misalnya. Dan aku tidak mau berpacaran dengan orang yang jauh lebih tua denganku yang sudah mapan. Mengerikan.
Ayah sangat tidak suka apabila ada hal yang di bawah atap rumahnya sedangkan dia tdak tahu. Keluarga kami demokratis. Semuanya transparansi. Semua permasalahan bisa diselesaikan dengan berdiskusi di ruang tamu. Sampai mufakat. Jadi saling menguntungkan kedua belah pihak dan tidak ada yang merasa dirugikan. Aku suka sekali metode itu.
Dia sebagai imam di rumah kami selalu menengahi setiap permasalahan yang ada. Semua bisa diselesaikan kalau kami mau terbuka, mau mengutarakan pendapat kami dan berdiskusi.
Akhirnya aku berhasil masuk jurusan IPA. Dan tiba saatnya UAN aku berhasil lulus SMA dengan NEM yang sangat memuaskan. Selama UAN mulai SD sampai SMA aku tidak pernah mencontek. Tapi kalau ulangan biasa sehari – hari atau ujian semester aku sering bekerja sama dengan teman – temanku. Asal tidak ketahuan guru penjaga saja. Dan karena kami anak muda yang pintar kami jarang ketahuan. Tapi untuk Ujian Akhir Nasional, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak mencontek.
Meskipun pada saat itu kondisinya sungguh menggiurkan untuk mencontek, karena guru penjaga sering keluar ruangan. Prinsipku, buat apa aku belajar selama 3 tahun apabila pada saat ujian akhir itu bukan murni jawabanku sendiri. Jadi apapun konsekuensinya aku harus siap. Toh belum tentu jawaban temanku juga benar. Sekalipun nilaikku kurang pada akhirnya aku akan belajar ikhlas. Tapi pada akhirnya aku bangga dengan keputusanku karena hasilnya sangat memuaskan.
Ayah bilang mencontek itu seperti mencuri. Ayah tidak akan pernah bangga kalau hasil yang kuperoleh itu dari mencuri. Dia lebih senang aku mendapat nilai kurang tapi itu hasil kerja kerasku sendiri. Itu sebuah pembuktian bahwa aku sudah berusaha.
Seperti orang kebanyakan yang baru lulus sekolah, aku mengikuti SPMB. Aku pingin kuliah tinggi. Ini jalan awal yang harus kutempuh untuk mendapat gelar sarjana. Aku mengambil IPC dimana aku bisa memilih 2 jurusan IPA dan 1 jurusan IPS / Bahasa. Aku memutuskan mengambil jurusan farmasi, kimia, dan bahasa inggris. Setiap hari aku belajar mati – matian agar lulus SPMB.
Setelah mengikuti tes aku lega luar bisa, terlepas nanti lulus atau tidak tapi aku lega bisa menyelesakan tahap ini. Aku sering pesimis dan takut gagal. Aku takut sekali tidak bisa membanggakan kedua orang tuaku. Lagi – lagi ayah membesarkan hatiku. Katanya aku sudah berusaha. Sekarang aku hanya tinnggal ikhtiar karena Allah lebih tahu jawaban yang terbaik. Detik – detik pengumuman membuatku semakin tidak bisa tidur nyenyak. Setiap hari aku meningkatkan ibadahku. Dan dengan suara lantang aku meyakinkan diriku aku bisa lulus.
Hari pengumuman tiba. Aku lulus SPMB. Sungguh suatu mujizat rasanya. Dan ayahku memelukku haru. Begitu juga ibuku. Terlihat jelas mata binar mereka mendengar jawabanku. Tapi masalahnya aku tidak diterima di jurusan yang aku pilih. Aku di terima di sastra Indonesia, padahal aku yakin sekali memilih sastra inggris. What a silly?
Aku bingung sekali harus bagaimana di satu sisi aku tidak mau masuk jurusan ini. Kata ayahku sudah di coba saja, siapa tau berkah disini. Tapi aku bilang aku nggak mau dan pingin mencoba dulu ujian lagi di politeknik. Tapi masalahnya pendaftaran ulang terakhir bagi yang lolos SPMB tepat pada hari yang sama dengan ujian di politeknik. Yang pada intinya kalau aku tidak melakukan daftar ulang dianggap gugur.
Sedangkan apabila aku gagal tes di polikenik, aku harus sabar menunggu tahun depan untuk mengikuti SPMB lagi. Karena aku tidak mau masuk swasta terkait masalah biaya. Akhirnya kami berunding. Aku dan orang tuaku. Sekali lagi ayahku menyarankan ambil dulu yang pasti – pasti aja, tapi kalau memang aku tidak mau ya terserah aku. Yang menjalani pada akhirnya toh juga aku.
Aku suka bagaimana dia mempercayai aku. Tidak banyak menuntut seperti ayah teman – temanku yang banyak memaksa anaknya ke jurusan kedokteran atau entah apa. Mungkin memang niatnya bagus, agar cerah masa depannya di kemudian hari. Tapi kata ayahku, yang tahu minat seorang anak ya anak itu sendiri.
Buat apa memaksakan sesuatu kalau tidak ada passionnya. Yang ada anak malah akan tertekan sehingga tidak akan maksimal. Jadi dengan tekad bulat dengan bismillah aku memberanikan diri mengambil jurusan teknik kimia di politeknik. Dan Alhamdulillah aku diterima disana, meskipun kelak hanya akan bergelar diploma.
Lagi – lagi ayah yang menyemangatiku. Katanya aku bisa kuliah sambil bekerja. Semua akan mudah dengan doa. Percaya pada Allah, karena Dia tidak pernah tidur.
Begitulah ayahku. Banyak mengajarkan nilai – nilai kehidupan yang kadang aku tidak bisa mendapatkannya di sekolah. Dia pernah berkata padaku suatu hari,
“ Mungkin ayah kelak tidak bisa memberi warisan yang banyak. Bukan itu yang ayah mau untuk anak – anak ayah. Materi bisa di cari. Tapi setiap hari ayah akan mengajarkan kebaikan, membagi setiap ilmu yang ayah punya. Sampai ayah pergi. Karena itu lebih abadi daripada harta sebanyak apapun. Carilah ilmu dimana saja. Jangan berhenti hanya di bangku sekolah. Setiap sudut mana saja bisa mengajarkan banyak hal. Tergantung bagaimana kita menyikapinya. Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.”
Mungkin ayahku tidak sebaik ayah kalian dalam melakukan suatu hal. Dan mungkin ayahku tidak bisa melakukan apa yang ayah kalian bisa lakukan. Tapi satu hal yang pasti, ayahku juga memiliki kelebihan yang dapat menutupi kekurangan ayah kalian. Dan yang paling penting, ayahku tidak pernah kalah untuk selalu mencintaiku.
Dia selalu bilang, bahwa dia selalu merapalkan namaku, dalam setiap sujudnya, dia selalu mendoakanku tentang apapun. Apapun yang menurutnya baik bagiku. Aku rasa itu sudah cukup. Sekalipun ayahku tidak sebaik ayah kalian dalam suatu hal, dia tidak pernah mengeluh mengapa aku yang menjadi anaknya.
.. And now I try hard to make it. I just want to make you proud. Did you know you used to be my hero? I’m sorry I can’t be perfect..
Salam sayang,
Your first Daughter