Aku sengaja ngga mau nonton film ini yang lagi on going pas puasaan. Lihat reviewnya yang ‘katanya’ bikin mewek setiap episode, bikin aku skip. Aku ngerasa bakal menguras energi banget, apalagi pas puasa. Pasti jadi kepikiran dan baper sepanjang hari.
Setelah tahu Gwansik meninggal saat jumat terakhir Ramadhan, jadi makin males liat. Spoiler di IG ama tiktok emang ngga tahu diri hahaha. Tapi karena makin banyak yang nge-review, akhirnya aku memutuskan marathon.
Jelas aku nonton film ini tanpa ekspektasi, cuma buat nemenin pas lagi sterika. Nyatanya, kisahnya tak semanis judulnya: When Life Gives You Tangarine. Sesuatu yang terdengar ringan dan menghibur. Tapi ternyata kita disuguhi cerita yang dalam, tenang namun berhasil menyentuh titik-titik paling rapuh seorang ibu.
Dannnn… beneran bikin kepala pusing, kaya ketiban bawang berton-ton!!!
Lebay? Iya emang aku lebay. Tapi mulai eps 5 rasanya mata bengep bae. Padahal udah aku rencanain ga boleh nangis, ga boleh baper, ga boleh mikirin rumah tangga orang. Apaan, yang ada ngalir mulu aer mata huhuu.
Film ini ngga heboh, ia berjalan pelan. Tiap dialog dan adegannya juga menampar pelan namun perih menyakitkan. Tentang hubungan ibu-anak, tentang luka-luka kecil yang terbawa sampai dewasa dan tentang kehilangan yang tak pernah benar-benar pergi.
Tangarine ini kayanya sayang banget kalo ngga di review sih..
Table of Contents
Ibu: Peran yang Penuh Cinta, Tapi Sering Lupa Diri
“Yang paling kutakutkan menjadi ibu adalah aku mungkin menyakitinya karena aku tak tahu caranya menjadi ibu.”
Sebagai seorang ibu dari tiga orang anak, aku merasa seperti bercermin. Kalimat ini menusuk. Karena menjadi ibu memang ngga ada sekolah khususnya, semua juga sama-sama belajar menjadi orang tua, semua dilakukan sambil jalan.
Kadang niat baik kita malah bikin anak sedih karena ngga sejalan dengan keinginan mereka. Sudah berusaha memberikan yang terbaik malah ternyata meninggalkan luka sampai dewasa.
Aku sendiri kerap kali merasa gagal, aku pernah membentak, menghardik, dan meluapkan emosi bertubi-tubi. Pernah merasa bersalah hingga berhari-hari.
Tapi dari film ini aku juga belajar: anakmu akan tumbuh, dan begitu juga dirimu.
Seorang ibu, juga membutuhkan sosok ibu. Saat itu Ae Sun sedang di rumah Geum Myong, dan melihatnya kewalahan mengasuh anak. Ia bilang:
“Saat ini, kau adalah seluruh alam semesta Sae-Bom… tapi itu takkan bertahan lama. Kelak, kau akan menjadi prioritas terakhir dalam kehidupan anakmu.”
Dan aku langsung terdiam. Karena aku tahu, itu benar.
Harusnya aku bangga bila saat ini anak-anak masih berebut pelukanku. Ngga mau aku tinggal, ikut ke mana aja aku pergi. Bagiku mungkin itu kadang merepotkan, sometimes aku juga pengen bebas. Tapi masa-masa ini cuma sebentar kan?
Dan saat itu tiba, aku hanya akan menjadi sebagian kecil dari ingatan mereka ꟷ mungkin yang nyebelin, mungkin selalu cerewet saat di rumah, atau mungkin yang selalu dirindukan. Dan itulah kenapa aku ingin menciptakan kenangan yang manis. Bukan aku ingin mereka terus mengingatku, tapi karena aku ingin mereka tumbuh dengan hati yang penuh.
“Mulai sekarang hidupku akan menjadi kisah yang diingat oleh anak-anakku saat mereka dewasa. Kisah yang akan dikenang oleh anak-anakku saat mereka datang ke pemakamanku.”
Menjadi Ibu, Bukan Tentang Menjadi Sempurna
Ada beberapa momen yang aku suka, film ini juga menunjukkan bahwa seorang ibu pun butuh ruang untuk dirinya sendiri.
“Sisakan yang terbaik untukmu dan lakukan apa yang kau inginkan. Kau harus menikmati hidupmu agar kau tak menumbuhkan kebencian.”
Pernah ngga, kamu merasa bersalah saat ingin ‘me time’? padahal kalau sering mengabaikan diri sendiri, lama-lama juga capek, hati juga menjadi jenuh dan menumpuknya emosi yang ngga sadar bisa dilepaskan Bagai bom waktu.
Film ini mengizinkan kita mengambil jeda. Bernapas lebih lega. Seorang ibu juga seorang perempuan, individu yang punya mimpi dan keinginan. Entah umur berapapun kita saat ini.
“Jika kau terus meragukan apakah tindakanmu layak dan benar, bahkan anakmu bisa tahu itu dari ekspresi wajahmu.”
Dan benar, jangan terlalu keras pada dirimu, Bu. Anak-anak juga akan merasakan. Mereka tak butuh ibu yang selalu benar, mereka hanya butuh ibu yang bahagia.
Baca Juga: Review Hi Bye, Mama! Bersyukur dengan Hidup Kita Saat Ini
Ayah yang Tak Pernah Benar-Benar Hidup untuk Dirinya sendiri
Tak hanya menyuguhkan hubungan ibu dan anak, atau fokus sama cerita ibu aja. Film ini juga menyelipkan sosok ayah yang begitu diam, namun hangat. Ayah yang mungkin tak banyak kita perhatikan namun memberikan seluruh hidupnya untuk keluarga. Membela istrinya yang awalnya ngga disukai keluarganya, di tengah gempuran patriarki jaman itu.
“Jangan terlalu keras pada ayahmu, dia tidak pernah benar-benar hidup untuk dirinya sendiri.”
Apalagi saat Geum Myeong bilang, “akhirnya ayah tak perlu bangun pagi lagi..”
Aduh rontok banget rasanya. Belum lagi adegan pas nikahan Geum Myeong, dan semua flash back saat Geum Myeong masih anak-anak. Gimana Gwan Sik selalu ada, selalu hadir untuk menemani, selalu memberi dukungan dalam setiap langkah perjalanan Geum Myeong.
Belum lagi Gwan Sik juga harus menjual kapal agar Eun Myeong bisa melanjutkan hidup, agar cucunya tak mendapatkan labeling ayahnya mantan napi. Apalagi kalau lihat telunjuk Gwan Sik, bayangkan seberapa besar pengorbanannya untuk keluarga?
Si Sulung Sebagai Pilar, dan Sindrom Anak Kedua
Dan seperti dalam banyak keluarga, si sulung menjadi pilar diam-diam. Siapa sih yang minta dilahirkan menjadi anak pertama? Dan baru tahu begitu hebat beban yang harus ditanggung anak pertama? Ya, itu aku jugaaa.
“Ibu tak tahu rasanya menanggung rasa bersalah bukan? Kenapa melakukan segalanya untukku dan menguburku dengan rasa bersalah? Orang tua yang menjalani tiap hari tanpa istirahat, terus menghadapi kesulitan, dan menaruh semua harapan padaku. Ibu tahu betapa beratnya itu?”
Tapi ada rasa bangga juga menjadi anak pertama yang (ternyata) bisa lho mengemban amanah yang terlihat berat, namun nyatanya ngga juga kalo udah dijalani ☹
Dari Eun Myeong kita juga bisa belajar berbagai stereotip anak kedua, mereka juga mencari ruang untuk bernapas. Tidak semua luka berasal dari kebencian. Justru kadang, luka justru datang dari cinta yang tak setara..
Mungkin Eun Myeong tumbuh dalam keluarga cemara penuh kasih, tapi ia merasa berat sebelah. Ae Sun yang menjadikan Geum Myeong pilar, meski berusaha sekuat tenaga pun rasanya ngga cukup bagi Eun Myeong.
Luka itu pun menumpuk. Pelan-pelan. Tanpa suara.
Baca Juga: Review Hometown Cha Cha Cha, 7 Pesan Moral Slice of Life Warga Gongjin
Suami Paling Green Flag, Ngga Romantis Tapi Manis
“Dia datang untuk hidup bersamaku, bukan untuk menjadi menantu ibu.”
Gwan-sik juga bukan tipe yang pengin “membawa” pasangan keluar dari keluarganya. Di tengah patriarki sangat kental kala itu, dia justru menghargai latar belakang, hubungan, bahkan luka masa lalu pasangannya. Ada adegan yang memperlihatkan kalau dia nggak sekadar sayang sama istrinya, tapi juga menghormati kisah hidupnya.
Gwan Sik ini bukan tipe cowok yang bikin jantung bakal berdebar kencang karena romantisnya. Lalu di mana sih manisnya yang semanis jeruk itu?
Gwan Sik bukan tipe cowok meledak-ledak dengan penuh ego. Dia sabar, dan memberi ketenangan yang bisa menjadi jangkar ketika lagi goyah.
Gwan Sik juga pandai mendengarkan, bahkan dia juga memahami. Dia memberi ruang yang nyaman untuk Ae Sun yang tengah meledak-ledak.
Cintanya konsisten untuk satu orang, ngga main-main soal komitmen. Kita ngga butuh seseorang yang sempurna atau mapan, kita butuh seseorang yang mau memperjuangkan kita, tangki cintanya ngga pernah habis, selalu berpihak sama kita dan mengusahakan kebahagiaan untuk kita. Selamanya.
Sounds too good to be true, doesn’t it?
Temukan cinta yang setara, meskipun mungkin ngga ada suami se green flag Gwan Sik, tetap temukan cinta yang setara.
Penutup
When Life Gives You Tangarine bukan hanya kehidupan satu keluarga. Aku merasa dengan alur maju mundurnya malah membawaku pada sebuah kisah yang utuh. Mulai dari Ae Sun kecil, mengikuti perjalanannya hingga renta. Sampai akhirnya bisa mencintai dirinya sendiri dan mewujudkan mimpinya, mimpi ibunya juga.
Film ini ngga hanya membuat hati menjadi hangat, dan mata menjadi bengkak. Tapi film ini juga pelukan hangat. Sebuah pengingat, bahwa tak apa-apa jika kita tak sempurna. Kita tetap belajar, dibalik jeruk yang tak selalu manis, ada vitamin yang menguatkan.