Entah kenapa kemaren rasanya bawaanya pengen tahsin. Mungkin gara-gara udah keseringan bolos kali ya wkwk. Jadi entah gimana awalnya eh tau-tau ada pembahasan yang bikin aku ketabok berkali-kali. Pertamanya sih kayanya ngebahas tentang pengasuhan anak yang intinya jangan terlalu sering dititipin eyangnya. Ya namanya eyang kan emang pinginnya cuma main ama cucu bukan malah jadi tempat penitipan ye kan? Kalo sekali dua kali nitip sih oke tapi ngga setiap hari juga kan. Mana dulu udah ngasuh kita eh sekarang ketambahan ngasuh cucu. Dasar anak belagu!
Terus ada yang nyeletuk,”ternyata susah ya jadi ibu salihah”.
Kemudian ustadzah Diana tanya balik dong, ”menurut mba-mba mana yang lebih utama dalam Al Qur’an, ibu salihah atau istri salihah?”
“Ibuuu salihahhhhhh..”
Begitulah mayoritas jawaban lima puluh ribu jamaah yang hadir. Hahaha..udah kaya tahsin di senayan aja.
Eng ing enggg… ternyata jawabannya adalah lebih utama menjadi istri salihah.
Mak DEG!
Mana kelakuanku ke bojo udahlah begitu.
Pernah denger kan hadits yang redaksinya,
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya.” [1]
Atau redaksi, seorang suami lebih utama daripada sorang ibu bagi gadis yang telah menikah.
Atau redaksi, rida Allah ada di rida suami.
Atau redaksi,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya), dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang dikehendakinya.” [2]
Mendadak dunia ku berguncang. Wkwkwk.
Terus ada mba yang nanya ke ustadzah, beliau cerita pengalaman temannya sih.
“Bu Dii, temen saya itu kalo di luar rumah pakai pakaian yang syari bahkan kerap kali menggunakan niqab. Tapi suaminya ngga suka. Suaminya (sebagaimana tipe lelaki pada umumnya yang visual) lebih suka temen saya pake celana jins, atau apalah yang seksi. Jadi kalo keluar sama suaminya, dia dandan terus pake celana. Ya kaya yang dua kepribadian”.
DEG!
“Terus buu..mana yang didahulukan? Mentaati suami atau gimana?”
Akhhhhh kok jadi gue banget.
Gara-gara muka bojoku yang ampun dah childish nya, jadi kalo keluar rumah terus aku pake gombrong-gombrong (apasik) jatuhnya malah aku yang emak-emak jalan ama brondong. Hahaha.. Jadi sedikit banyak aku mengimbangi dia, soalnya doi juga males liat aku yang ‘kegombrongan’. Jadi kadang aku masih pake celana (lagi) kalo keluar ama doi. Haissshhhh. Iman gini amat yak naik turunnya.
Ustadzah Diana menjawab,
“Dahulukan yang sesuai syariat mbaa. Di atas suami masih ada perintah dan ketentuan Allah. Kalo suaminya ngajak nggak salat masa iya kita ngikut suami. seperti Asiyah istri Fir’aun. Silakan buka Al Ahzab 59 mba, kan ada ketentuan jilbab itu seperti apa. Bukan jilbab para jilbaber loh ya. Jilbab itu artinya terowongan. Longgar. Silakan kalau mau pakai celana, tetapi di dalam jilbab. Kemudian khimar itu kerudung yang menutup dada. Kalau mau seksi di depan suami untuk menyenangkan suami ya silakan. Malah berpahala. Tapi harus tau tempatnya, di dalam rumah atau dalam kamar”.
Aku paham benar kalo masalah teori. Prakteknya itu looo..
“Sekarang lagi rame juga istri habib yang copot kerudung dengan dalih islam nusantara. Mantan istri seorang hafidz yang berpindah agama. Bentengi diri sendiri mba. Gigit akidah ini kuat-kuat walau hanya dengan gigi geraham. Kita yang akan ditanya masing-masing kelak, kita sendiri yang bertanggung jawab. Kita tetap harus menghormati suami tetapi sesuai dengan syariat. Dulu sebelum turun surat Al Ahzab itu para wanita yang masih jahiliyah berpakaian menutup kepala tapi tampak belahan dadanya. Setelah turun surat, lantas mereka mengambil apa saja didekatnya, bisa gorden atau kain apa saja untuk menutup aurat. Ngga nunggu jahit baju dulu yang syari dan modis”.
Masa iya sudah pernah menjalankan yang syari lalu kembali jahil?
Plak plok mak jleb.
Kadang suka baper juga liat pasutri lain yang ah sudahlah..
Memang bener butuh support dalam menjalankan syariat, kita memang kadang merasa ngga bisa berjalan sendirian. Tapi ya gimana lagi. Semua balik ke diri kita masing-masing. Sekali lagi semua adalah tanggung jawab kita pribadi. Jangan harap suami kita yang menanggung semua dosa kita..
فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ.
“Perhatikanlah bagaimana hubunganmu dengannya karena suamimu (merupakan) Surgamu dan Nerakamu.”[3]
[1]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1159), Ibnu Hibban (no. 1291 – al-Mawaarid) dan al-Baihaqi (VII/291), dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Hadits ini diriwayatkan juga dari beberapa Shahabat. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (no. 1998). [2]. Hadits hasan shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (no. 1296 al-Mawaarid) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiih Mawaariduzh Zham’aan (no. 1081). [3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (VI/233, no. 17293), an-Nasa-i dalam ‘Isyratin Nisaa’ (no. 77-83), Ahmad (IV/341), al-Hakim (II/189), al-Baihaqi (VII/291), dari bibinya Husain bin Mihshan radhiyallaahu ‘anhuma. Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi.