“Sejauh manapun negara yang akan kalian kunjungi untuk belajar nantinya, pada akhirnya kalian akan kembali pulang ke desa. Kalian akan kembali ke desa. Langkah pertama untuk mengabdi pada negara adalah dari desa. Baru kita bisa berkontribusi untuk bangsa dan negeri.”
(Gede Andika-Penggagas KREDIBALI)
Sore itu begitu sepi, tenang dan damai dengan angin sepoi-sepoi menerpa wajah. Membuat siapa saja akan terlena oleh suasana Pantai Pemuteran. Pantai berpasir hitam ini sangat asyik buat berjemur, bermain voli pantai, bahkan walau hanya santai bermain pasir. Berenang juga akan sangat menyenangkan karena airnya tenang dan dangkal.
Wabah virus membuat daerah ini lagi-lagi begitu sepi. Padahal Desa Wisata Pemuteran memiliki sekitar 80% keanekaragaman hayati laut yang bisa disaksikan secara cuma-cuma sambil snorkeling dan diving.
Desa pariwisata ini pernah begitu ramai dengan pengunjung lokal maupun mancanegara. Sayangnya, pandemi Covid tidak pandang bulu menghantam siapa saja.
Kebijakan pemerintah untuk di rumah saja membuat semua sektor terhenti. Bekerja dan sekolah harus dilakukan secara daring. Tak masalah bagi keluarga menengah ke atas yang memiliki fasilitas lengkap.
Lantas bagaimana dengan anak-anak menengah ke bawah yang kurang mampu?
Table of Contents
KREDIBALI Lahir Karena Anak-anak Desa Pemuteran Berhenti Sekolah
Pemuda itu balik ke desanya, karena kebijakan pemerintah untuk Work From Home sejak pandemi. Seorang fresh graduate yang baru saja merasakan pengalaman bekerja kantoran akhirnya memutuskan pulang ke kampung halamannya di Desa Pemuteran, Buleleng, Bali.
Sesampainya di kampung halamannya, ia bernostalgia dengan flash back ke masa lalunya. Desa kelahirannya yang ramai dengan geliat pariwisata di mana-mana.
Desanya yang begitu masif dengan sektor pariwisatanya yang berdikari, tak ia temukan lagi. Pantai yang sepi, surga bawah laut yang sepi, tak ada turis, tak ada orang berjualan, tak ada kulineran, bahkan tak ada anak-anak di jalanan.
Seperti inikah wajah desanya saat ia pergi?
Ia bertanya-tanya, seburuk inikah dampak pandemi Covid-19 menjadikan desanya yang penuh keindahan pegunungan dan lautan akhirnya mati begitu saja.
Pemuda ini merasa asing dengan desanya sendiri saat menemukan bahwa banyak anak tak bisa bersekolah lagi karena tak ada fasilitas untuk daring.
Berangkat dari kondisi inilah KREDIBALI (Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan) lahir, sebuah ide proyek yang digagas Gede Andika, pemuda yang berbakti pada desanya.
“Ternyata bukti yang saya dapat, sebagian besar anak-anak di Pemuteran tidak bisa ikut kelas daring. Mereka jadi tak bisa belajar karena akses media belajar yang terbatas, salah satunya tidak ada gawai. Pandemi Covid membuat keluarga menengah ke bawah makin tak bisa membeli kuota apalagi beli gawai. Jadi kondisinya makin complicated,” ungkap pria yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Udayana.
Bangkit Dari Sampah Plastik Bantu Anak Bali Kejar Mimpi
Sebuah ide yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Siapa bisa menyangka kalau sektor lingkungan bisa berkolaborasi baik dengan sektor pendidikan.
Saat itu para orang tua bahkan tak pernah berani membayangkan anaknya ikut les bahasa Inggris, sedangkan buat sekolah aja susah. Andika punya program unik untuk pembagunan desa ini. sebuah solusi sederhana namun cerdas.
KREDIBALI lahir dari masalah ini. Sebuah program pembelajaran bahasa Inggris dari anak-anak SD hingga SMP di desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, Bali yang diadakan secara tatap muka sesuai protokol kesehatan. Agar anak-anak tetap bisa belajar sistem luring.
Gimana bayarnya?
Semua siswa yang ikut program ini bisa belajar bahasa Inggris. Cukup membayar dengan sampah plastik yang sudah terpilah dari rumah masing-masing.
Awalnya Andika mempunyai komunitas Jejak Literasi Bali, dan KREDIBALI adalah salah satu program di dalamnya.
Fokusnya memang 3 bidang yaitu pendidikan, lingkungan, dan humanity. Pada bidang pendidikan, salah satunya adalah belajar bahasa Inggris melalui KREDIBALI.
Sedangkan pada bidang lingkungan, mereka akan datang ke sekolah-sekolah untuk edukasi gerakan literasi. Bukan mengajar secara teoritis tentang sampah namun lebih ke knowledge bagaimana dampak yang akan timbul kalau anak-anak tidak menangani sampah secara benar.
Yang terakhir pada bidang sosial yaitu dengan menukar sampah plastik ke Lembaga Swadaya Masyarakat untuk dijadikan beras dan sembako. Nantinya akan disalurkan kepada lansia-lansia di pelosok dan lebih membutuhkan.
“Bali termasuk salah satu provinsi yang menerapkan diet plastik. Jadi kami mengajarkan anak-anak tanpa unsur money di dalamnya. Pandemi Covid membuat semua orang struggling masalah uang. Tau-tau ya ada ide, sampah plastik yang dikumpulkan dari rumah tangga. Mereka bilang ke orang tua, sekalian memberi edukasi halus pada orang tua agar jangan membuang sampah plastik karena bisa buat les. Sehingga orang tua juga tidak akan terbebani. Bisa belajar bahasa Inggris sekaligus berkontribusi menjaga lingkungan,” jelas Gede Andika.
Tunda Magister, Majukan KREDIBALI untuk Negeri
Sebuah kesempatan belajar di luar negeri tiba-tiba menghampiri. Orang gila macam apa yang mau melepas kesempatan besar mewujudkan mimpi beasiswa kuliah di UK?
Sayangnya, Andika rela melepas kesempatan besar itu. Mengesampingkan ego bukan hal yang mudah, apalagi demi masa depan diri sendiri.
“Dulu saya takut mengambil keputusan menolak beasiswa. Tapi ternyata saat saya timbang lagi, saya tidak punya penyesalan apapun. Karena kalau kemarin saya jadi ambil S2, maka hanya saya sendiri yang dapat gelar master. Tapi ketika saya sekarang melihat anak-anak ini berkembang dengan baik, mengetahui dan ambil peran untuk pendidikan, lingkungan bahkan kemanusiaan, maka penolakan saya tidak sebanding dengan yang saya hasilkan melalui KREDIBALI,” ujar mahasiswa Master of Science in Economics UGM ini
“Perjalanan mengajarkan kepada saya, sejauh apapun kaki melangkah mau ke Jepang atau Amerika, tidak membuat saya lupa melihat dan menelisik desa saya. Tidak etis rasanya ketika memiliki pendidikan yang tinggi dan jauh tapi diam saja melihat someone left behind,” pungkas pria yang juga pernah belajar di Jepang ini.
Dedikasi Gede Andika dan Tantangan yang Dihadapi
Tak semua yang ia harapkan akan berjalan mulus dan baik-baik saja. Perjuangan dan harapan memang selalu berjalan beriringan. Begitu juga Andika yang mengaku banyak tantangan yang dihadapi.
Seperti anak-anak yang pemalu dan tak mau bicara, ketersediaan telepon seluler, jaringan internet, transportasi yang tak mudah, pola pikir orang tua yang masih beranggapan pendidikan itu mahal dan bukan kebutuhan utama, dan masih banyak lagi.
Belum lagi aparatur desa yang khawatir dengan protokol kesehatan karena sistem pembelajaran luring. Andika pun memberikan pemahaman dengan berbagai riset yang telah ia lakukan dan tegasnya aturan protocol kesehatan yang diterapkan. Hal ini membuat pihak desa bernapas lega dan membantu memberikan izin penggunaan ruang rapat.
Sungguh perjuangan yang luar biasa, bukan?
Perkembangan dan Harapan untuk Anak-anak KREDIBALI
“Cara belajarnya ada kurikulum tersendiri. Ngga semua anak yang daftar akan diterima. Anak-anak yang masuk memang indikatornya dari keluarga kurang mampu, yang dapat PKH dan BLT, karena treatment-nya juga akan beda. Anak-anak ini akan mengerjakan pre-test untuk mengetahui kemampuan awal. Saya selalu percaya kalau setiap anak itu spesial dengan kemampuannya masing-masing. Cara mengajarnya tentu saja berbeda. Ngga bisa digeneralisasi. Nanti dilakukan mapping untuk mengetahui treatment apa yang paling cocok. Kemudian dilakukan post test buat mengetahui perkembangannya. Apakah ada peningkatan knowledge di akhir,” jelas Andika.
Bali ini merupakan destinasi wisata yang menjanjikan di masa depan. Tentu saja generasi penerusnya juga harus disiapkan pendidikan bahasa Inggris nya dengan baik untuk menyambut era global internasional. Harapannya memang untuk jangka panjang sektor pariwisata di Bali.
Bagaimana perubahan anak-anak?
“Anak-anak di desa punya sifat pemalu, tak mau berbicara dan takut dibully. Ketika ada KREDIBALI, ada peningkatan bahasa Inggris, yang mana mereka sudah mau ngomong bahasa Inggris tanpa malu-malu lagi,” terang Andika.
Bahkan ada salah satu anak SMP kelas 3 yang berhasil mendapatkan beasiswa penuh di sekolah internasional di Bali. Anak ini memenangkan lomba pidato bahasa Inggris. Dia yang awalnya pemalu dan susah diajak diskusi, sekarang bisa terlibat dalam kepenulisan dan bahasa Inggris. Anak kampung yang ngga confidence dengan dirinya tapi bisa muncul ke permukaan.
Luaran yang diharapkan antara lain:
- Adanya peningkatan kemampuan bahasa Inggris sejak dini sebagai input pariwisata jangka panjang, apalagi untuk yang di pelosok. Mereka bisa tetap punya kesempatan belajar bahasa Inggris dan bisa berkontribusi untuk pariwisata.
- Kesadaran masyarakat di mana anak-anak bisa menjadi inisiator. Anak bisa menjadi reminder buat orang tua bahwa sampah plastik memiliki value buat alat tukar belajar. Memberi edukasi bagaimana bahaya dan dampak sampah plastik. Ada literasi lingkungan yang didapatkan semua pihak pada akhirnya.
- Kesadaran sosial yang berkembang, sampah ditabung dan ditukar menjadi beras. Bekerja sama dengan Plastic Exchange, KREDIBALI akan menukarkan plastik terpilah yang dibawa anak-anak untuk ditukar menjadi beras dan didistribusikan ke lansia kurang mampu yang terdampak Covid 19.
“Pariwisata selalu menjadi kambing hitam sebagai penyebab kerusakan lingkungan. Tapi KREDIBALI menjadikan semua berkorelasi mulai dari pendidikan, lingkungan dan kemiskinan. Pendidikan difasilitasi dengan kelas bahasa Inggris untuk memajukan sektor pariwisata, lingkungan difasilitasi dengan sampah plastik untuk bisa belajar bahasa Inggris, dan harapannya bisa mengurangi dampak keparahan kemiskinan dengan pendistribusian beras untuk lansia dari penukaran sampah plastik” jelas pria bermata teduh ini.
Nyalakan Semangat Hari Ini Demi Masa Depan untuk Negeri
Tak sia-sia semua pengorbanan dan kerja keras Gede Andika hingga Gerakan KREDIBALI ini diapresiasi oleh Satu Indonesia Awards. Sebuah ajang yang memberikan apresiasi anak-anak muda seluruh Indonesia yang telah berkontribusi untuk negeri.
Andika sendiri masuk dalam kategori ‘Pejuang Tanpa Pamrih di Masa Pandemi Covid-19’. Hasil dari apresiasi ini rencananya akan ia gunakan untuk menambah jatah bantuan dan dukungan siswa juga pengajar relawan KREDIBALI.
Pemuda ini telah memberi semangat pada anak-anak di desanya. Darinya kita bisa banyak belajar bahwa dengan menyebarkan kebaikan, maka kebaikan itu akan kembali datang dari banyak pihak.
“Saya melihat harapan besar yang harus kami tetap hidupkan dan nyalakan. Beri mereka kesempatan untuk tumbuh dan menyalakan motivasi mereka sehingga mereka akan merasa meski hidup di desapun dan berasal dari keluarga kurang mampu juga privilege bagi mereka. Saya tidak ingin anak-anak yang merasa tinggal di desa menjadi tidak pantas memperjuangkan mimpi mereka,” tutur pahlawan pandemi yang terus berjuang hingga kini.
Terima kasih Gede Andika, Indonesia tetap bisa tersenyum. Darimu kami bisa belajar bahwa negeri ini masih punya banyak generasi muda yang peduli untuk masa depan negeri yang lebih baik.