“Sudah 78 tahun Indonesia merdeka, kok masih banyak anak Papua yang belum merdeka dari buta huruf?”
(Bhrisco Jordy)
Deretan pohon kelapa yang menghias pinggir pantai mulai nampak. Begitu juga hamparan sebuah bukit hijau yang ditumbuhi pepohonan teduh dengan angin sepoi-sepoi menerpa wajah. Beberapa remaja muda nampak sumringah, pulau tujuan mereka semakin dekat.
Perahu melaju ditemani hamparan laut yang biru, langit yang cerah, deburan ombak, mungkin agak sedikit terik. Semua ini tak menyurutkan langkah mereka untuk datang memeluk anak-anak pulau Mansinam. Memeluk dengan bahtera lautan ilmu yang akan menyelamatkan masa depan mereka.
Wajah-wajah ceria menjemput perahu para remaja muda tadi. Anak-anak Pulau Mansinam tak sabar menanti kehadiran para pengajar muda yang datang sekitar 6 km dari kota Manokwari menuju Pulau Mansinam, Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Anak-anak siap menyambut di bibir pantai, mereka akan membantu menangkap tas, membawakan snack, dan tak sabar mendapat ilmu baru apa lagi kali ini.
Table of Contents
Papua Future Project, “Every Child Matters”
Anak-anak muda yang berlayar dari kota tadi merupakan relawan yang tergabung dalam komunitas Papua Future Project. Perahu yang mereka tumpangi melaju sekitar 15 menit saja dari kota. Tak ragu dan bersemangat menyebrangi lautan menuju salah satu pulau terluar di sisi timur Indonesia.
Dialah Bhrisco Jordy, seoarang pemuda penggagas Papua Future Project. Anak muda inspiratif yang peduli pada ketimpangan pendidikan anak-anak Pulau Mansinam.
Proyek ini memang fokusnya mengenalkan literasi dan sistem pembelajaran yang lebih mudah dipahami di wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar).
Mengusung tagline, “Every Child Matters”, Jordy ingin menghadirkan akses pendidikan dan kesehatan yang inklusif melalui program belajar seminggu sekali secara sukarela tanpa menerima bayaran sama sekali.
Pulau Mansinam, Surga Tersembuyi dengan Ketimpangan Pendidikan dan Sosial
Rasanya tak berlebihan bila menyebut Pulau Mansinam adalah serpihan surga. Dikelilingi hamparan pantai cantik dengan pasir putih khas Teluk Doreri. Tak hanya itu, di sinilah kenangan sejarah awal peradaban Tanah Papua tersimpan.
“Im Gotes Name Tu Betraten. Dengan Nama Tuhan, Kami Injak Tanah Ini.”
Kalimat itu yang diucapkan Ottow dan Geissler, asal Jerman, ketika menjejakkan kaki di Papua tepatnya di Pulau Mansinam hampir 160 tahun silam.
Pergulatan Ottow dan Geissler tak lepas dari bagian sejarah perkembangan Kristen Protestan di Papua. Merekalah yang menghubungkan masyarakat Papua ke dunia luar.
Keduanya juga menerjemahkan Injil ke Bahasa Melayu dan membantu adaptasi doa-doa ke dalam bahasa Papua agar masyarakat lokal lebih mudah memahami.
Berjalan ke atas menelusuri jalan mengular ke arah bukit, akan tampak Patung Yesus Kristus ukuran raksasa. Patung yang menjadi bentuk penghargaan terhadap sejarah peradaban Papua. Tingginya 30 meter, bagai replika patung Yesus di Rio de Janeiro, Brazil.
Namun dibalik kemegahannya yang bagai surga, tentu saja masyarakat setempat masih memegang teguh pada adat yang ada. Nyatanya masih banyak juga anak-anak yang tak tersentuh huruf dan angka.
“Pendidikan merupakan suatu hal fundamental, apalagi kesenjangan signifikan bagi mereka yang tinggal di kota dan seperti masyarakat adat kita yang ada di Pulau Mansinam,” ujar Jordy.
Numerasi dan literasi masih menjadi main issued di Indonesia Timur. Bagaimana bisa, Pulau Mansinam yang hanya 15 menit berlayar dari kota bisa tertinggal sejauh ini?
Lantas bagaimana dengan pulau yang lebih pelosok dan susah dijangkau?
Pemilihan lokasi Papua Future Project juga melalui pertimbangan yang ngga main-main. Dibalik kekayaan sejarahnya, memang benar adanya kalau Pulau Mansinam sangat jauh tertinggal dari segi pendidikan.
Jordy menambahkan kalau di sini memang ada sekolah, tetapi hanya ada satu SD. Ada juga yang kelas 6 tapi belum bisa membaca.
Belajar dengan Kurikulum Kontekstual Sesuai Kondisi Sosial dan Budaya
“Bagaimana kita bisa menyamakan anak-anak di Pulau Mansinam dengan teman yang ada di daerah Jawa dan kota besar lainnya?” tanya Jordy.
Saat anak-anak SD di Pulau Jawa sibuk mencoba Kurikulum Merdeka yang baru saja diperkenalkan pemerintah, lantas kurikulum apa yang di dapat anak-anak Pulau Mansinam?
Ada getir pada suara Jordy saat menyampaikan kepahitan cerita anak-anak didiknya.
Kembali menapaki luka saat wabah virus sedang menjamah seluruh pelosok negeri. Bagaimana nasib anak-anak ini?
Sebelum Covid saja pendidikan di Papua sudah sangat memprihatinkan, apalagi saat wabah menghampiri. Lockdown memaksa anak-anak tidak belajar, guru-guru juga tidak datang, atau datang hanya formalitas.
Tenaga pendidik juga belum paham benar tentang Kurikulum Merdeka. Tak ada pelatihan terkait sosialisasi kurikulum terbaru ini.
Lantas bagaimana menciptakan pembelajaran yang nyaman buat anak-anak Pulau Mansiman?
Tentu saja dengan menciptakan kurikulum kontekstual dengan mengintegrasikan permainan adat dan tradisional. Pendidikan hadir bukan menjadi beban, namun menyemangati anak-anak agar bisa mendapat pendekatan dengan ruang lingkup yang mereka kenal.
“Jangan membebani dengan kurikulum nasional tapi masukkan value adat. Mereka dekat dengan kalimat, ‘tanah adalah ibu yang memberi kehidupan, laut adalah ayah yang memberi makanan’. Kami menumbuhkan kesadaran melalui pendidikan ini. Kalau tanah mereka rusak, mereka akan hidup bagaimana? Karena tak terbiasa bekerja kantoran,” ungkap anak muda lulusan sarjana President University dengan program International Relations and Affairs ini.
Penggunaan Asynchronous Learning Method
Mengapa Jordy getol banget membawa perubahan bagi masyarakat Pulau Mansinam?
Sekali lagi, pulau serpihan surga ini banyak sekali menyimpan sejarah. Kalau masyarakatnya sendiri buta aksara, tak menganal huruf dan angka, bagaimana kisah historis pulau ini akan dicatat? Kalau tidak ada yang bisa menuliskannya. Sejarah pun lambat laun akan menghilang.
Padahal generasi merekalah yang harusnya melanjutkan estafet pembekalan nilai sejarah dan nilai adat Pulau Mansinam.
Jordy sendiri tidak mau anak-anak ini mudah ditipu di pasar hanya karena tak bisa berhitung.
Sebuah ide baru pun dicoba, karena anak-anak ini juga tidak bisa dipaksa belajar monoton yang formal. Konsep pembelajaran ular tangga raksasa coba digunakan. Ada kolom bacanya dengan sebuah dadu, anak-anak bisa belajar membaca sambil bermain.
Bagaimana pula dengan teman volunteer dari luar pulau yang ingin ikut berpartisipasi mengajar? Apakah harus datang setiap minggu?
Dari sinilah Asynchronous Learning Method lahir. Sebuah konsep pembelajaran offline menggunakan rekaman video para pengajar. Jordy menerangkan kalau inspirasi post-recording learning ini bisa diadaptasi sesuai kebutuhan Papua Future Project.
“Banyak juga teman-teman dari Indonesia Barat dan Tengah yang ingin kontribusi mengajar. Dengan metode ini, teman-teman yang ingin mengajar bisa merekam materi pengajarannya kemudian kami putarkan untuk anak-anak,” tutur Jordy dengan semangatnya.
Sebenarnya metode ini sangat efektif namun ya keterbatasan fasilitas laptop lagi-lagi menjadi kendala. Karena tidak semua relawan punya juga. Jadi ya para siswa mingguan dengan jumlah hampir ratusan, hanya bisa mengakses dengan satu laptop saja.
Lokasi yang jauh dari kota juga perlu biaya transportasi yang ngga murah. Metode belajar daring juga tidak memungkinkan karena jaringan Pulau Mansinam yang tidak stabil.
Jordy juga bermimpi bisa membelikan sebuah perahu agar anak-anak bisa menyebrang pulau dengan mudah sehingga bisa sekolah.
Bahkan founder Papua Future Project ini pernah bekerja jadi barista dan waitress selama 3 bulan untuk memulai proyeknya.
Budaya Patriarki dan Pernikahan Dini Pada Anak Perempuan
“Di Papua tuh masih kuat adatnya, jadi anak-anak beranggapan, terutama perempuan ngga perlu bersekolah. Mereka bahkan ngga papa menikah di usia muda. Kami berusaha memberi pengertian bahwa perempuan tentu saja juga perlu bersekolah,” ujar Jordy.
Kalau kalian berpikir menikah umur 25 atau bahkan 30 tahun masih terlalu muda saat ini, sepertinya hal ini malah menjadi tabu bagi perempuan-perempuan Mansinam.
Pernikahan menjadi pilihan dan jalan keluar terbaik bagi perempuan. Kembali lagi ke adat dan budaya yang menjadi faktor utama para perempuan terbelenggu dari kemerdekaan diri mereka sendiri.
Anak-anak yang masih remaja tak perlu sekolah atau mengenyam pendidikan. Banyak perempuan umur 15-19 tahun harus berdamai untuk melangkah mengarungi bahtera pernikahan. Percuma juga pendidikan tinggi kalau berakhir di dpaur buat mengurus suami dan anak.
Muak?
Namun bisa apa?
Budaya patriarki sangat melekat erat, dan masih menjadi PR yang tidak mudah bagi Papua Future Project. Jordy memberi banyak edukasi pada para orang tua.
Bahkan ada pelatihan yang diadakan di Jayapura harus melibatkan perempuan Papua. Sebagai kelompok paling rentan, para perempuan dan calon ibu harus dilibatkan.
Dari rahim para permepuan ini yang megurus rumah tangga, mendidik anak-anak, menyiapkan dan mengatur makanan sehari-hari, berkebun dan memenuhi semua kebutuhan anak.
“Papua Future Project terus memberikan sosialisasi dan pelatihan tentang bahayannya pernikahan dini pada para orang tua. Anak-anak masih belum siap secara fisik maupun mental, tingkat kematian kian meningkat, dan pendidikan semakin terhambat,” ungkap Jordy.
Sosialisasi Kesehatan Hingga Peduli Literasi Lingkungan
Tak hanya masalah literasi membaca dan menulis saja, Papua Future Project juga mewujudkan kolaborasi program-program dengan berbagai pihak.
Memperingati Hari Anak Internasional 2022 kemarin, Papua Future Project bersama HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) dan UNICEF (United Nations Children’s Fund) Papua Barat mengadakan kampanye Imunisasi Dasar Lengkap di lampu merah Haji Bauw dan RSUD Manokwari.
Diadakannya kampanye ini memang sebagai sarana memberi informasi dan menumbuhkan awareness agar orang tua mau membawa anaknya untuk imunisasi.
Di Papua Barat sendiri cakupan imunisasi masih sangat kurang, padahal tujuan imunisasi lengkap merupakan upaya pencegahan infeksi dari 29 jenis penyakit berbahaya dan stunting.
Papua Future Project juga mengajak anak-anak Mansinam menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal dengan memungut sampah berdasarkan jenisnya.
Tahu ngga, permasalahan sampah ini masih menjadi ancaman serius bagi kehidupan masyarakat adat. Banyak sampah plastik juga mempengaruhi kualitas air dan tanah yang jadi tempat sumber pangan utama masyarakat adat.
Harapan Agar Pendar Pelita Tak Pernah Padam
Tantangan mengajar selama ini dirasakan tim Papua Future Project terkait jarak. Mansinam merupakan area terluar daerah Samudera Pasifik. Dari segi transportasi tidak bisa dibilang murah. Dan kalau mau efisiensi waktu memang harus carter dengan merogoh kocek antara 200-300 ribu.
Belum lagi terbatasnya ketersediaan pengajar. Bukan perkara mudah buat menemukan anak muda yang mau sukarela mengajar setiap minggu. Lagi-lagi faktor dana yang menjadi kendala.
Aspek kualitas guru juga tidak banyak mendukung. Di saat Kurikulum Merdeka sudah banyak diterapkan dan disosialisasikan di pulau kita, ternyata guru daerah di sana belum menjangkaunya. Hal ini membuat pendidikan juga tidak maksimal didapatkan.
Jangan paksa anak-anak menggunakan kurikukum yang diterapkan pemerintah pusat. Terlalu jauh, terlalu ekstrim, terlalu muluk-muluk. Mereka mengeja nama sendiri aja masih kesusahan.
Starting point anak-anak berbeda tiap daerahnya. Jadi treatment-nya juga berbeda-beda. Lebih baik membuat kurikulum khusus yang sesuai dengan kemampuan anak-anak daripada terbebani dengan pencapaian kurikulum yang sulit.
Apa saja yang bisa dilakukan?
- Kerja sama dengan stakeholder terkait. Mulai dari tingkat terkecil sampai pusat bisa saling mengetahui grass root-nya. Semua hasil diskusi bisa disatukan dan dirundingkan ke pusat.
- Komunitas harus bisa menjangkau lebih banyak lagi daerah hingga 100 kampung dengan pojok membaca dan akses literasi. Maka, butuh anak muda untuk diajak kerja sama dengan membuat pembelajaran holistik. Tak hanya membebaskan buta huruf, tapi juga pendidikan karakter, bahasa Inggris, dan melatih problem solving.
- Anak muda punya power yang kuat untuk bersinergi dengan pemerintah. Masyarakat juga dilibatkan sehingga bisa mendengar suara mereka juga. Anak-anak muda bisa berpartisipasi aktif dan membuktikan kalau pemuda juga bisa menjadi bagian dari perubahan. Teman-teman dari luar Papua bisa juga mengikuti seluruh rangakaian kegiatan online.
- Meminta data apa saja yang kurang di daerah-daerah pelosok. Kebutuhan anak-anak yang belum tercukupi bisa dibuatkan open donasi. Kemudian membuat pelatihan buat tenaga pengajar di sana.
- Memastikan bisa mengakses pembelajaran online dan membuat video pembelajaran sesuai RPP. Mengenalkan literasi lingkungan dengan video pembelajaran yang ditayangkan di pedalaman.
“Bagaimana kalau anak-anak Mansinam tidak bisa membaca dan menulis hingga generasi berikutnya? Nilai sejarah pulau ini lambat laun akan hilang. Generasi inilah yang melanjutkan sejarah dan nilai adat. Kalau ngga bisa menulis, bagaimana mereka akan menceritakan nilai sejarah dan adat mereka sendiri?” tutur pria yang ramah ketika diwawancari ini.
Saat ditanyakan, apa sebenarnya motivasi terbesar Jordy untuk terus melanjutkan Papua Future Project?
“Mereka tidak bisa mengungkapkan perasaan mereka, bahkan untuk menuliskannya pun tak mudah. Tapi aku bisa membaca love language mereka. Setiap kami mau datang, saat perahu mau bersandar, mereka sudah menyambut kami dengan wajah dan tawa. Mereka sigap menangkap tas, perbekalan, dan membantu kami turun. Saat pulang bahkan anak-anak mendorong hingga tengah laut dan kembali dengan berenang. Bagi mereka kehadiran kami sangat berarti, walau mereka tak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata” ceritanya sambil membayangkan anak-anak Pulau Mansinam.
Satu Indonesia Award Menjadi Saksi untuk Terus Berbakti
“Meskipun kita hidup di tengah keterbatasan, jangan sampai itu memusnahkan mimpi. Meskipun enak hidup di Jakarta, kuliah, dapat tawaran kerja, tapi aku ingin memotivasi anak-anak Papua. Mau sejauh apapun kamu pergi untuk menimba ilmu, jangan lupa pulang untuk berkontribusi.”
(Bhrisco Jordy)
Berbagai kontribusi nyata tersebut yang berhasil membawa pemuda dengan panggilan nurani ini menjadi penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia Awards tahun 2022 Bidang Pendidikan.
Setelah menang, Jordy bisa menjangkau hingga 14 kampung di Papua barat Daya dan 725 anak yang menerima manfaat program. Bahkan 250 anak muda seluruh Indonesia menjadi volunteer online maupun offline.
“Kita bisa bersama-sama membantu pendidikan di tanah Papua. Sudah 78 tahun Indonesia Merdeka kok masih belum merdeka dari buta huruf dan literasi. Mari bersama membangun negeri ini dan mewujudkan masa depan Indonesia lebih baik!”
(Bhrisco Jordy)
Referensi:
Interview bersama narasumber (Bhrisco Jordy)
https://www.instagram.com/papuafutureproject/
22 Komentar. Leave new
Yah, saya juga berharap kegiatan Inspirasi Pelita dan teamnya ini bisa terus ada, berkembang dan disupport oleh banyak pihak dan bisa menyebar ke daerah lain juga
Sedih bacanya yg tentang adat untuk anak perempuan. Memang pendidikan adalah kuncinya ya mba. Semoga semakin banyak pemuda seperti bliau ya yg peduli dengan keadaan saat ini
Starting point anak-anak berbeda tiap daerahnya. Jadi treatment-nya juga berbeda-beda. Ah, ini bener banget mak. Untuk daerah seperti pulau Mansinam ini beneran gak bisa deh diratakan harus pakai kurikulum merdeka juga. Fasilitas dan Human Resource-nya yang belum ada.
Kalau mau, ya mesti ada guru yang diutus ke sini gitu ya, bukan yang pulang pergi. Keren sih gerakan Pendar Pelita Papua ini. Semoga bisa terus memberi manfaat ke anak-anak yang butuh pendidikan di Papua
Makanya ituuu, emang masih agak berat kalau harus disamaratakan dengan Kurikulum Merdeka kaya di sini, malah makin membebani juga. Apalagi gurunya sendiri juga belum tersosialisasi kan…
Saya terharuu sekali baca ini..
Saluuut pada Jordy yg sudah menginisiasi papua future project. Sungguh layak dapat award. Semoga banyak bantuan lain yang bisa disalurkan pada anak2 pulau Mansinam dan pulau2 lainnya. Juga semoga banyak Jordy-jordy yang lain, bersama team, yang bersedia menjangkau pulau2 terluar.
Anak muda memiliki rasa peduli yang tinggi terhadap saudara kita yang berada di Papua. Meskipun pernah menjadi bartender dan waitress sebelumnya, namun semangat dan kerja kerasnya mencerdaskan generasi bangsa patut diacungi jempol, dan layak mendapatkan award sih ini. Semoga menjadi inspirasi untuk anak muda yang lainnya.
Aku nih diceritakan oleh sepupuku yang bertugas disana, tentang bagaimana anak-anak disana, bagaimana sosial disana. Aku juga pernah diceritakan tentang pernikahan dini disana, padahal dengan usianya itu masih bisa terus belajar. Keterbatas memang jadi kendala, semoga semakin banyak orang-orang seperti Jordy ini bisa membantu dan memerdekakan anak Papua dari buta huruf.
Berarti bener kan masih terjadi pernikahan dini dan ketimpangan gender. Bahaya juga kalo terus berlanjut tanpa ada edukasi.
Salut untuk Jordy dan kawan-kawan Papua Future Projects saat orang pada ambisi untuk sukses dan memperkaya diri, mereka punya kepedulian terhadap sesama yang tinggal di pelosok, miris memang ketimpangan di negeri kita ini ya
Papua selain memiliki alam yang indah dan kaya sumber daya alam, sayangnya untuk sumber daya manusianya memang banyak yang masih buta huruf. terutama di wilayah pedalaman yang sulit di jangkau.
Salut untuk Bhrisco Jordy dan teman-temannya di Papua Future Project, masih muda namun memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak papua
Semoga makin banyak anak bangsa Indonesia yang terlahir sebagai Jordy-Jordy sehingga bisa membantu tanpa pamrih di seluruh pelosok Indonesia terutama di daerah Papua. Terima kasih artikelnya Mbak, sangat menginspirasi dan memicu jiwa patriotisme kita.
Sudah selayaknya saudara kita di Papua mendapatkan kesempatan pendidikan yang setara dengan di bagian lain Indonesia
Tanah Papua permata yang masih banyak ketertinggalan dari daerah lainnya, apalagi dibandingkan dg Jawa dan Kota besar lain.
Pendidikan di Papua seakan ‘dibiarkan’ saja oleh pemangku kebijakan. Beruntungnya masih ada orang baik seperti Kak Jordy ini.
Membuat saya tercekat, kagum, dan haru. Membayangkan dia dari pelosok ke pelosok lainnya. Mengajarkan huruf demi huruf kepada anak-anak di sana, dan harus berjuang melawan budaya patriarki.
Semangat terus untuk Kak Jordy.
Negeri ini butuh pemuda seperti Jordy lebih banyak lagi ya mba. Bener kata Bung Karno, beri aku 10 pemuda maka aku akan mengguncang dunia.
Membaca ini, merasa sedih karena ternyata pendidikan belum merata. Tp dengan adanya project ini, aku sendiri yakin, bahwa anak2 Papua akan lebih mengenal pendidikan dan bersemangat untuk masa depan lebuh baik
Salut ada aktivis yang peduli dengan Papua. Kasihan sekali emang masyakaratnya masih banyak yang miskin dan belum terdidik padahal daerahnya kaya raya. Semoga program dan kegiatannya ini bisa konsisten berjalan terus ya.
Ya Allah semoga banyak bermunculan jordy jordy yang lain, yang peduli terhadap sesama manusia…pengen euyy bisa ke papua
Ya Allaah..
Masih ada yaa..kesenjangan pendidikan terutama bagi anak-anak perempuan. Dan hampir terlupa bahwa luasnya Indonesia masih memiliki wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar).
Semoga semangat belajar, semangat juga bagi para pendidik yang tergabung di Pendar Pelita untuk terus mengajarkan ilmu pengetahuan sehingga membuka cakrawala dunia.
Semoga makin banyak yang merasakan manfaatnya
Mereka di sana butuh orang seperti sosok ini
Ah senangnya melihat keceriaan anak anak yang berwawasan
Ketimpangan pendidikan di Indonesia ini memang masih nyata adanya. Apalagi di bagian Indonesia Timur seperti Papua. Pendidikan berbasis kontekstual memang sudah sangat tepat karena tidak meninggalkan keseharian dan apa yang dekat dengan anak-anak. Percuma kurikulum kompleks kalau tidak bisa mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Papua Future Project tidak pernah redup dan terus menjadi pelita bagi anak-anak Papua.
Aamiin.. iya bener mba daripada memaksakan kurikulum merdeka tapi ketinggalan kan karena starting pointnya aja udah ketinggalan jauh.
Salut untuk Brischo Jordy! Keren sekali dengan Papua Future Project nya. Sungguh anak muda yang menginspirasi dan peduli. Misi mulianya yang fokus mengenalkan literasi dan sistem pembelajaran yang lebih mudah dipahami di wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar) mesti didukung dan diteladai semua!